Dalam kitab Nashâihul ‘Ibâd, Syaikh Nawawi al-Bantani
mengungkap kisah seorang pencuri kain kafan dan seorang hakim dalam
sebuah negara. Drama keduanya bermula ketika hakim yang dikenal sangat
saleh itu merasakan detik-detik akhir usianya.
Sang hakim gundah,
terutama soal nasibnya nanti selepas prosesi pemakaman dirinya: akankah
kain kafannya selamat dari tindak pencurian sebagaimana banyak kasus
yang menimpa tetangganya saat itu? Ia tahu siapa yang biasa
melakukannya. Maka dipangillah tukang nyolong kain mayat tersebut.
“Aku
telah menyiapkan sejumlah uang seharga kain kafanku. Ambilah, tapi
tolong jangan koyak kuburanku.” Si pencuri kain kafan mendengarkan
dengan baik pesan sang hakim. Ia menyanggupi permintaannya.
Si
pencuri ternyata tak sungguh-sungguh memegang janjinya setelah hakim itu
meninggal dunia. Di benaknya terlintas godaan mencuri kain kafan sang
hakim. Istrinya sempat meredam niat buruknya ini, tapi gagal. Proses
penggalian kubur pun berlangsung. Dalam aksi nekatnya inilah tukang curi
kain kafan mendapatkan pengalaman ajaib.
Telinganya seperti mendengar suara dua malaikat. Ia seolah dibimbing merekam peristiwa yang tak lazim dapat ditangkap indra itu.
“Ciumlah bau kakinya (hakim),” ujar malaikat satu kepada yang lain.
“Tidak ada yang aneh. Dia tidak menggunakan kedua kakinya untuk maksiat.”
Penciuman
terus berlanjut pada kedua tangan dan mata. Hasilnya sama. Tak
ditemukan kejanggalan karena si hakim mampu menjaga tangan dan
penglihatannya dari perbuatan haram. Malaikat lalu mulai memeriksa kedua
telinga si hakim. Satu telinga masih luput dari masalah, tapi tidak
untuk telinga bagian lain.
“Apa yang kau temukan?” tanya mailakat satu kepada yang lain.
“Sebuah bau busuk.”
“Kau
tahu bau apa ini? Ini bau perbuatan si hakim yang cenderung
mendengarkan satu pihak ketimbang yang lain dalam penyelesaian kasus
sengketa dua pihak. Tiup!”
Begitu tiupan diembuskan, api tiba-tiba memenuhi kuburan. Dan sejak peristiwa itulah pencuri kain kafan mengalami kebutaan.
Syaikh
Nawawi tak mencantumkan riwayat secara rinci perihal kisah dramatis
ini. Beliau hanya menyebutnya berasal dari cerita sebagian ulama
terdahulu. Syaikh Nawawi mengulasnya ketika menjelaskan balasan
kehidupan setelah mati.
Cerita di atas setidaknya berpesan bahwa
kerugian yang ditimbulkan oleh sikap tidak adil dalam penegakan hukum
tak hanya menimpa pada orang lain tapi juga diri sendiri. Citra positif
di mata orang lain sebagai orang saleh tak akan mampu mengapus risiko
dan tanggung jawab akibat kebusukan perilaku yang disembunyikan.
Bukankah pengadilan sebenarnya justru terjadi setelah kehidupan di dunia
ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar