Dunia hanya panggung sandiwara, kata banyak orang. Ia permainan belaka,
betapapun indahnya kenikmatan alam yang pasti bakal rusak ini. Dunia
sekadar jembatan bagi kebahagiaan abadi di akhirat nanti. Bergiatlah
ibadah dan berbuat baik, kelak kau mendapat surga.
Dan teruslah durhaka
dan berlaku jahat jika kau menghendaki neraka.
Berangkat dari
pandangan biner ini, sebagian orang lantas membuat kesimpulan: tujuan
akhir hidup di dunia ini adalah meraih kebahagiaan surgawi. Sedahsyat
apapun sensasi kelezatan makanan di dunia, ia akan berhenti di lorong
tenggorokan saja. Secantik dan setampan apapun wajah dan tubuh manusia,
ia pasti fana dimakan usia. Sementara di surga, kondisi jauh lebih
nikmat dan indah akan diperoleh selama-lamanya. Sebuah kebahagiaan yang
belum pernah dilihat oleh mata, juga didengar oleh telinga (mâ lâ ‘ainun ra’at wa lâ udzunun sami‘at).
Tapi benarkah tujuan hakiki hidup adalah mendapatkan surga—dan karenanya otomatis menghindari neraka?
Suatu
kali Fudlail ibn 'Iyadl berkata, "Seandainya saya diminta memilih
antara dua hal, yakni dibangkitkan lalu dimasukkan surga atau tidak
dibangkitkan sama sekali, saya memilih yang kedua." Fudlail malu. Tokoh
sufi ternama ini merasa tak pantas menerima ganjaran pahala seandainya
ia memang mendapatkannya.
Fudlail ibn ‘Iyâdl bukan sedang ingkar
terhadap surga dan kebahagiaan di dalamnya. Gejolak jiwanya lah yang
mendorongnya bersikap semacam itu. ‘Abdul-Malik ‘Alî al-Kalib mencatat
pernyataan ulama yang juga kerap disapa Abu Ali tersebut dalam kitab Raudlatuz Zâhidîn ketika membahasan Cinta dan Malu kepada Allah.
Kecintaan
Fudlail yang memuncak kepada Tuhannya menghilangkan angan-angan akan
pamrih apapun. Kebaikan yang ia lakukan tak ada bandingnya dengan
anugerah-Nya yang melimpah. Bahkan kesanggupannya berbuat baik
sesungguhnya adalah secuil dari anugerah itu sendiri.
Suatu hari
seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Fudlail ibn ‘Iyâdl, “Wahai
Abu Ali, kapan seseorang mencapai tingkat tertinggi cinta kepada Allah
ta'ala?"
"Ketika bagimu sama saja: Allah memberi ataupun tidak. Saat itulah kau di puncak rasa cinta," jawab Fudlail.
Sebagaimana
manusia, surga dan neraka adalah makluk. Fudlail berpandangan, Allah
adalah hakikat tujuan hidup. Hal ini tercermin dalam tafsirnya terhadap
kalimat “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn". Kita semua hamba
Allah, dan kepada-Nya pula kita kembali. Kehambaan yang total
membuahkan kesadaran bahwa diri ini tergadai hanya untuk memenuhi
permintaan Sang Tuan. Tulus murni tanpa berharap imbalan sedikit pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar