Contact Person

LTM-NU Kecamatan Sawahan Kota Surabaya - Hand Phone : 081 251 223 223 atau 087 85 85 45 888 atau 081 55 66 88 128

Selasa, 18 Agustus 2015

Diam, Petaka, dan Pelajaran Berharga

Oleh: Abdi

Teman-teman menganggapnya stress, dia juga selalu jadi bahan olokan mereka. Bahkan akhir- akhir ini dia cenderung dikucilkan.

Sungguh malang nasib Abdi (bukan nama sebenarnya). Siapa sangka kalau sikapnya yang pendiam malah jadi petaka baginya.
Malam itu, dia ditemukan terkungkung lemas tak berdaya di dalam sumur tua, sebelah barat masjid Lirboyo. Entah sudah berapa lama ia terjebak dalam sumur itu, sehingga tubuhnya sudah begitu pucat dan lemas, sampai-sampai berpegang pada tali pun ia sudah tak mampu.

Mungkin saja dia telah mati, kalau saja tidak ada yang mendengar teriakannya ketika minta tolong, karena waktu itu jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Untung saja penghuni kamar sebelah sumur itu belum tertidur, sehingga teriakannya terdengar dari kamar itu.

Entah sejak kapan dia dikucilkan oleh teman-temannya. Yang pasti, sejak empat tahun yang lalu, waktu pertama kali aku mengenalnya, kondisinya sudah seperti itu. Sebenarnya, Abdi seperti yang aku kenal, bukan anak yang nakal, ia juga tidak suka menyakiti teman-temannya, malah dia sering kali membelikan makanan untuk teman-temannya, dia pun selalu bersedia menolong teman- temannya yang sedang membutuhkan pertolongan. Bahkan ia sering membangunkan teman sekamarnya tiap subuh, karena ia merasa bertanggung jawab sebagai ketua kamar.

Namun sikapnya yang pendiam dan kurang ‘treseh’ (tidak sering menyapa) membuat mereka tidak menyukainya. Mereka yang sedang tertidur nyenyak, merasa kaget dibangunkan olehnya. Namun, bukankah shalat adalah kewajiban mereka? Mengapa harus marah?

Ejekan dan cacian dari teman-temannya membuat dia tak kerasan tinggal di kamar. Masjid dan makam K.H. Abdul Karim lah yang jadi tempat pelarian sekaligus tempat pengaduannya. Sehingga ia betah berlama-lama duduk di dalam masjid sambil melantunkan ayat-ayat suci al Quran. Dia hanya akan kembali ke kamar bilamana bajunya telah kotor, itu pun hanya sekedar untuk ganti baju. Sedikitpun ia tak meluangkan waktu untuk sekedar ikut ngobrol bareng bersama teman-teman kamarnya.

Karena saking jarangnya ia di kamar, teman-teman sering mengejeknya dengan sebutan ‘Raja Serambi.’ Bahkan seolah dia sudah tidak dianggap warga kamar lagi, sehingga bila mana ada teman yang mencarinya ke kamar, teman-temannya langsung menyuruhnya untuk mencari di Masjid. “Abdi kamarnya bukan di sini Kang, kamarnya serambi.” jawab mereka.

Rupanya sikap teman-teman yang sering mengejek dan mengucilkannya semakin menambah beban pikiran yang harus ditanggungnya. Badannya pun makin lama makin kelihatan kering kerontang, bola matanya tampak menjorok masuk ke belakang bagai palung. Langkahnya makin gontai bak batang rumput layu tertiup angin.

Belakangan ini dia semakin jarang terlihat. Namun tak banyak dari teman-temannya yang mau menanyakan di mana Abdi, kebanyakan mereka tak peduli ke mana selama ini ia pergi. Yang pasti wajah layunya menyimpan sejuta arti menyiratkan betapa berat beban yang selama ini dia tanggung.

Agaknya sikapnya selama ini membuat dia semakin merasa bersalah dan tidak betah lagi tinggal di sini. Namun dia juga tak berani untuk meninggalkan tempat ini, karena orang tuanya tidak memperbolehkannya pulang. Dia baru boleh pulang kalau mondoknya sudah tamat. Rupanya inilah yang menjadi awal semua musibah yang menimpanya.

“Aku njaluk ngapuro ya,” (saya minta maaf ya) ungkapnya satu bulan lalu, ketika ia minta maaf kepada teman-temannya. Tentu saja ungkapannya itu mengejutkan teman-temannya. Mereka saling menanyakan satu sama lain tentang keanehan yang terjadi pada diri Abdi.

Tidak hanya pada teman satu kamarnya Abdi mengiba minta maaf, itu juga dia lakukan kepada seluruh teman kelasnya. Yang menjadikan teman-temannya merasa aneh dan penasaran, ketika ia pamit. Tentu saja hal ini mengundang beberapa pertanyaan pada hati teman-temannya, “Ada apa dengan Abdi sebenamya ya?” Sehingga ada salah satu teman yang memberanikan diri untuk menanyakan tentang apa yang sebenarnya sedang dia alami. Lalu dengan nada lirih dan gugup ia menjawab, “Arep mulih ora wani, nanging nang kene kok yo ora krasan.” (Mau pulang tidak berani, tapi di sini saya sudah tidak krasan lagi). Hanya itulah yang dia ucapkan pada teman-temannya.

Rupanya dengan meminta maaf pada teman-temannya, Abdi masih merasa belum dapat menebus dosa-dosanya. Semua barang-barang larangan pondok yang dimilikinya diserahkan ke kantor keamanan. Pantas saja kalau tindakannya ini membuat semua orang yang ada di kantor tercengang, merasa terharu dengan yang dilakukan anak ini. Mereka pun tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun ketika Abdi datang ke kantor sambil berkata, “Saya bersalah Pak, saya harus digundul.” Melihat tak ada satu orang pun yang mau menanggapinya, Abdi pun keluar dari kantor tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dan kembali ke kantor dengan membawa barang lebih banyak lagi. Dia pun mengulangi perkataannya yang tadi, “Pak, saya bersalah, saya harus di takzir.” Karena merasa tak ada tanggapan dari mereka, Abdi pun keluar dari kantor itu dengan langkah layu dan muka murung merasa kesalahannya belum tertebus.

Berita tentang apa yang dilakukan Abdi di kantor itu pun segera tersebar dari mulut ke mulut hingga ramai dibicarakan oleh para santri. Namun apa yang dilakukannya ini bukannya menjadi contoh teladan bagi mereka, tapi malah jadi bahan tertawaan.

Sejak kejadian itu pun Abdi mulai jarang terlihat. Mungkin dia merasa malu dengan teman-temannya. Setelah itu mereka baru mendengar kabar bahwa ada orang yang tercebur sumur yang ternyata adalah Abdi. Kabar itu pun begitu cepat tersebar pada seluruh santri. Mereka mengira Abdi bakalan mati, karena sebelumnya dia pamitan dan minta maaf kepada seluruh temannya. Mereka bilang, “Mungkin itu semua adalah isyarat kalau dia sudah mau meninggalkan dunia ini.”

Namun apa yang diramalkan teman-temannya itu salah. Ternyata Abdi dapat diangkat dari sumur dengan selamat. Hanya saja tubuhnya memang sudah lemas tak berdaya.

Begitulah Abdi. Walaupun tidak banyak disukai oleh teman-temannya karena sikapnya yang tidak wajar, ternyata hatinya begitu suci, mau mengakui segala kesalahannya dan mau menyerahkan diri kepada yang berwajib.

Kita dapat membayangkan, bagaimana bila negeri ini rakyatnya adalah orang-orang yang mentalnya seperti Abdi, tentu saja kita akan bisa hidup makmur, aman, dan sejahtera. Karena tidak ada lagi pejabat yang mau memakan uang rakyat, para penjahat mengakui segala kesalahannya dan mau bertaubat.

Kini, Abdi sudah kembali seperti biasanya. Tekanan mental akibat gojlogan yang ada pada dirinya sudah mulai mereda. Sebuah pertolongan yang diberikan oleh Allah yang diberikan kepada hamba-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar