Contact Person

LTM-NU Kecamatan Sawahan Kota Surabaya - Hand Phone : 081 251 223 223 atau 087 85 85 45 888 atau 081 55 66 88 128

Selasa, 18 Agustus 2015

Mengenal Islam di Amerika : Dialektika Kehidupan Muslim di Amerika

Oleh: Council of American Muslims for Understanding

Saat ini Islam adalah salah satu agama yang paling cepat berkembang di AS. Menurut survei terbaru, kurang lebih 1.209 masjid tersebar di seluruh AS, dan sebagian besar dibangun pada rentang waktu 20 tahun terakhir.
Sementara dari jumlah pemeluknya, sekitar 30 persen adalah para Muallaf (orang yang baru masuk Islam). Hal ini menunjukkan bahwa, isu terorisme yang belakangan banyak menyudutkan umat Islam, tidak membuat masyarakat AS bersikap antipati secara total terhadap ajaran Islam.

Jika ditilik ke belakang, faktor utama masuknya Islam ke AS adalah terjadinya gelombang besar-besaran imigran Muslim yang datang dari berbagai negara sekitar akhir abad ke 19. Migrasi kaum Muslimin ini berlangsung dalam rangkaian-rangkain dan periode-periode yang berbeda.

Kedatangan paling awal berlangsung pada kisaran tahun 1875 hingga 1912, dimana mereka rata-rata berasal dari negara-negara Timur Tengah, seperti Suriah, Yordania, Otorita Palestina, dan Israel. Kebanyakan dari mereka datang ke AS dengan motif ekonomi dan perbaikan nasib. Banyak di antara mereka yang bekerja sebagai buruh dan pedagang. Lambat laun mereka mulai membentuk semacam komunitas muslim yang berlokasi di wilayah timur Amerika, Midwest, dan sepanjang Pantai Pasifik.

Awalnya, mereka hanya ingin tinggal di AS dalam waktu tidak berapa lama, dan mendapatkan uang cukup untuk membantu keluarga di kampung halamannya. Namun lama-lama para imigran yang sudah mendapat penghasilan tetap dan mencapai taraf ekonomi mapan, merasa kerasan tinggal disana, sehingga mereka memutuskan untuk terus tinggal di negara Adi Kuasa tersebut. Apalagi di AS status agama seseorang memang tidak dipersoalkan, setiap orang dari pemeluk agama apapun bebas tinggal di negara itu.

Gelombang kedua para imigran Muslim ke AS terjadi setelah Perang Dunia I berakhir, terutama setelah runtuhnya kekaisaran Ottoman yang berkuasa di Suriah Raya. Perang telah membuat kehancuran begitu parah, sehingga banyak imigran yang pergi ke AS semata-mata untuk bertahan hidup, tidak seperti gelombang imigran pertama yang lebih berorientasi ke masalah ekonomi. Diantara mereka banyak pula yang bergabung bersama keluarga yang telah lebih dulu tinggal di AS.

Sedangkan gelombang imigran muslim ketiga terjadi pada tahun 1947 sampai 1960, dimana para muslim yang datang tidak lagi berasal dari Timur tengah, melainkan dari Eropa Barat, Eropa Timur (terutama Yugoslavia dan Albania), Uni Soviet (sekarang Rusia), dan kawasan Asia selatan seperti India, dan Pakistan. Mereka yang datang pada gelombang ketiga ini rata-rata mempunyai latar belakang keluarga elit perkotaan, sehingga memilih menetap di kota-kota besar seperti New York dan Chicago. Mereka juga lebih terpelajar dibandingkan para pendahulunya. Tak heran jika motivasi mereka pindah ke AS adalah untuk melanjutkan studinya dan memperoleh pelatihan teknis di negeri Paman Sam itu.

Gelombang imigrasi Muslim ke empat atau terakhir, terjadi pada tahun 1965, ketika AS berada di bawah kendali pemerintahan presiden Lyndon B. Johnson. Secara umum, imigran yang datang pada era ke empat ini berasal dari Timur Tengah dan negara-negara Asia lainnya, dimana hampir setengah dari mereka adalah pemeluk agama Islam.

Setelah gelombang ke empat ini, nyaris tidak ada lagi suatu gelombang besar-besaran kedatangan imigran ke AS. Para imigran yang datang sesudahnya hanya berupa kelompok kecil dari satu komunitas, datang sekeluarga, atau hanya bersifat individual belaka. Kedatangan mereka rata-rata atas motivasi melanjutkan pendidikan dan perbaikan ekonomi, dan sebagian kecil lagi karena tidak bisa bertahan di negara asalnya, disebabkan terjadinya kemelut politik berkepanjangan. Perang Palestina-Israel, perang saudara di Libanon, atau pecahnya Revolusi Iran tahun 1979 dan naiknya Imam Khomeini ke tampuk kekuasaan, yang disusul kemudian dengan pecahnya perang Iran-Irak selama hampir satu dasawarsa, membuat warganya selalu diliputi ketakutan dan kekhawatiran berkepanjangan, sehingga mereka berinisiatif mengungsi atau mencari suaka ke negara lain, salah satunya adalah AS. Bahkan sejak pendudukan Irak atas Kuwait dan pecahnya perang Teluk I, warga suku Kurdi di Irak yang notabene pemeluk agama Islam, dalam jumlah besar datang ke AS. Hal yang sama juga dilakukan warga Somalia, Sudan, Afganistan, dan etnis Muslim bekas Yugoslavia. Para pengungsi berbondong-bondong memasuki AS dengan motivasi mencari perlindungan dan kedamaian, di mana hal itu tidak lagi mereka dapati di negara asalnya.

Yang agak menarik adalah para pencari suaka dari India, Pakistan, dan Bagladesh, dimana pada periode-periode sebelumnya jumlah mereka hanya sub-kecil dari imigran Muslim yang datang ke AS. Namun dalam beberapa dasawarsa terakhir mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Bahkan saat ini jumlah mereka sudah mencapai hampir satu juta jiwa. Banyak kaum Muslim Pakistan dan India adalah para profesional muda dan terampil, seperti dokter dan insinyur, sehingga ketika telah berada di AS, mereka tidak mengalami banyak masalah dengan pekerjaan maupun peningkatan karier. Bahkan dalam komunitasnya, mereka memainkan peranan sangat penting dalam perkembangan Islam di AS. Banyak dari mereka yang menjadi pemimpin suatu organisasi Muslim atau menjadi imam masjid. Hal yang sama terjadi pada pendatang Muslim dari Indonesia dan Malaysia dalam beberapa dekade terakhir ini. Banyak dari mereka telah memiliki bekal dan kemampuan khusus, serta sangat terlatih, sehingga mereka sering mengisi posisi-posisi strategis kepemimpinan di masyarakat Muslim Amerika.

Komunitas Yang Kompleks

Dialektika kehidupan masyarakat muslim AS memang sangat kompleks. Hal itu tampak dari latar belakang mereka yang multi etnis, multi budaya, dan multi negara. Namun demikian, mereka dapat bersatu-padu dalam heterogenitas itu, sehingga terbentuklah suatu komunitas kompleks yang integral. Di samping itu, beragam aliran keagamaan, seperti Syi’ah dan Sunni, semakin memperkaya khazanah dan corak kehidupan kaum Muslimin di sana.

Seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, pekerjaaan dan karier yang dijalani mereka juga sangat beragam. Ada yang menjadi buruh di pabrik-pabrik, pertambangan, bangunan, penggilingan, menjadi pedagang kecil-kecilan, pedagang keliling, atau menjadi professional muda, pegawai suatu kantor swasta maupun negeri, hingga menjadi direktur eksekutif suatu perusahaan.

Tahun-tahun pertama tinggal di negara itu, merupakan tahun sulit bagi mereka. Banyak yang merasa kesepian, kekurangan pangan, kesulitan bahasa, ketidakhadiran kerabat dekat, ketiadaan rekan se-negara dan se-agama, dan beragam problematika lainnya. Namun lambat laun kondisi itu dapat mereka atasi dengan semakin luasnya pergaulan, banyaknya rekan kerja dan kenalan, hingga diperolehnya pekerjaan tetap dan permanen. Sehingga kemungkinan untuk pulang ke kampung halamannya semakin jauh dari harapan, sebab mereka sudah merasa menjadi bagian integral dari koimunitas barunya itu. Mereka sudah menyatu dalam kihidupan Amerika yang majemuk dan plural.

Dalam masalah pernikahan, beragam keunikan dialami banyak calon pasangan muslim. Mereka menempuh suatu pernikahan dengan beragam cara. Misalnya, para pria yang merasa tidak mendapat pasangan yang cocok, apalagi tidak seagama, mendatangkan calon pengantin wanita dari negara asalnya. Namun bagi penganut faham Islam liberal, ketidaksamaan agama tidak menghalangi mereka untuk menikahi calon pasangannya.

Selama periode tahun 1960-an, masalah rasial pernah mencuat ke permukaan, di mana perbedaan ras dan agama sering menjadi masalah dan sumber konflik. Saat itu, sikap yang mereka ambil adalah menyembunyikan identitas keagamaan dan etnis mereka, seperti memakai busana ala Barat, menjalankan ibadah secara sembunyi-sembunyi, mengganti nama agar lebih ‘meng-Amerika’, dan menghilangkan hal-hal lain yang akan membuat mereka ‘berbeda’ dari komunitas lain pada umumnya. Namun seiring bergulirnya waktu dan semakin banyaknya imigram Muslim, serta semakin banyaknya posisi-posisi strategis yang mereka ‘kuasai’, mereka mulai dapat menyatu dan diterima komunitas lain di Amerika. Dengan kata lain, komunitas muslim tetap mampu mempertahankan ciri khas budayaan identitas keislamannya, di samping berhasil membaur dengan budaya lokal yang heterogen tersebut.

Ada Diseantero Negeri

Hingga detik ini, hanya sedikit kawasan di Amerika yang tidak terdapat suatu komunitas atau individu Muslim. Mereka sudah tersebar hampir di seantero negeri Paman Sam itu. Hanya sebagian kecil saja yang tidak terjamah oleh mereka.

Komunitas Muslim pertama yang ada di AS berada di kawasan Midwest, sedangkan di Indiana, sebuah pusat kegiatan Islam sudah ada sejak tahun 1914 dan bertahan hingga sekarang. Sementara di Cedar Rapids, Iowa, terdapat suatu rumah yang menjadi masjid tertua, dan hingga saat ini masih terus digunakan. Sedangakan Michigan, Detroit, telah sejak lama menjadi kawasan pemukiman kaum Muslim Sunni dan Syiah yang berasal dari Timur Tengah. Banyak yang datang ke Michigan ini untuk bekerja di pabrik Ford Motor Company, dan bersama orang-orang Kristen yang juga berasal dari Timur Tengah, mereka membentuk suatu pemukiman Arab-Amerika terbesar di negeri itu.

Kota-kota besar di AS juga banyak yang menjadi tempat bermukim komunitas Muslim. Contohnya, galangan kapal di Quincy, Massa-chusetts, menyediakan lapangan kerja bagi imigran Muslim sejak akhir tahun 1800-an. Islamic Centre terbaru di New England, saat ini telah menyediakan kompleks masjid besar untuk para pelaku bisnis, para guru, kaum professional, serta pedagang dan buruh Muslim.

Di kota terbesar di AS, New York, Islam telah hadir dan muncul sejak lebih dari satu abad yang lalu. Dalam sejarahnya, New York telah menjadi kawasan banyak etnik Muslim yang berkecimpung di berbagai strata profesi. Ada yang terjun dalam suatu perniagaan besar, pedagang, professional papan atas, dan berbagai bisnis besar lainnya. Kaum Muslim di New York mewakili spektrum kebangsaan yang luas dari semua negara di dunia. Aktivitas pembangunan masjid di kota ini berlangsung dalam skala besar dan sangat pesat. Organisasi-organisasi Muslim menjadikan kota New York sebagai lahan subur untuk mengembangkan kegiatanya. Sejumlah besar Sekolah Dasar dan Sekolah Manengah Islam, toko-toko yang menyediakan makanan halal, dan sejumlah lahan bisnis lainnya, tumbuh subur di setiap penjuru kota. Bahkan di Chicago, Illionis, lebih dari 40 kelompok Muslim telah berdiri dan mengembangkan kegiatan-kegiatan organisasinya secara kontinyu dan dinamis. Hal yang hampir sama juga terjadi di Los Angeles, San Francisco, California, dan kota-kota besar lainnya.

Di bidang pendidikan, sosial, politik, dan lain sebagainya, masyarakat Muslim AS telah mengalami banyak perkembangan yang sangat menggembirakan. Sebagian mereka telah berhasil menggapai posisi-posisi strategis yang memungkinkan mereka memiliki daya tawar politik (bargaining position) yang setara dengan komunitas lainnya. Peran serta dalam pengambilan kebijakan publik mulai dirintis melalui jalur birokrasi kekuasaan, walaupun untuk sementara ini masih terbatas pada gerakan personal, dan hanya sebagian saja yang berbentuk gerakan kolektif. Namun semua itu sudah bisa dijadikan pijakan awal dirintisnya jalan menuju kesetaraan hak dan pengaruh dalam mengambil kebijakan publik.

Sebab, posisi paling strategis di pemerintahan AS selama ini lebih banyak dikuasai kalangan Yahudi. Sehingga, walaupun jumlah mereka sedikit, tapi karena menempati posisi vital, kebijakan yang diambil pemerintah AS seringkali menguntungkan mereka. Dengan dirintisnya jalan secara bertahap ini, politikus Muslim AS diharapkan mampu memberi corak baru sekaligus mengimbangi (balance) peran politik kaum Yahudi yang terlalu besar itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar