Forum Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada awal Agustus 2015 lalu
membahas perihal "Khashaish Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah" atau
Aswaja Perspektif NU pada sidang komisi bahtsul masail diniyah
maudhu’iyyah. Materi ini dibahas di masjid utama pesantren Tambakberas
Jombang yang dipimpin oleh KH Afifuddin Muhajir. Berikut ini rumusannya.
Khashaish Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdhiyah
Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth, ta’adul, dan tawazun.
Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan
atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan
menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan
demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil
dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar
Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)
Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata وَسَطًا dalam firman Allah di atas dengan adil, yang berarti fair
dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan fatwa karena
perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena
perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.Selain ayat di
atas, ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya firman Allah:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal.” (QS. Al-Isra’: 29)
Dalam firman-Nya yang lain,
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Dan
janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS.
Al-Isra’: 110)
Sementara dalam hadits dikatakan,
خَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
“Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.”
Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat,
وَخَيْرُ اْلأَعْمَالِ أَوْسَطُهَا وَدِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِىْ وَالْغَالِىْ
“Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada di antara yang beku dan yang mendidih.”
Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut: Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (عدل بين ظلمين) atau kebenaran di antara dua kebatilan (حق بين باطلين), seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme. Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah
antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan
tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi
nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara
keduanya, yaitu al-karam dan al-jud. Allah berfirman;
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)
Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a). wasathiyyah
antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya
memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan
keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya. (b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql.
Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki
peranan penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu
sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai
syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid. (c). Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat, antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.
Ketiga, realistis (wâqi’iyyah).
Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Islam
memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk
mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi
Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih
banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun
ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas yang
hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas yang
terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas sambil tetap berusaha
untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah dalam kondisi dharurat atau hajat.
Watak wasathiyyah
dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua aspek
ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
1.
Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber
pokok dan juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an
dan As-sunnah seperti ijma’ dan qiyas.
2. Menjadikan ijtihad
sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi
yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali
harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang
diyakini penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun,
Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermadzhab secara manhaji dalam
persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermadzhab
secara qauli.
Pola bermadzhab dalam NU berlaku dalam
semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf,
seperti dalam rincian berikut: (a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul
Ulama mengikuti salah satu dari madzhab empat, yaitu madzhab Imam Abu
Hanifah, Madzhab Imam Malik ibn Anas, madzhab Imam Muhammad bin Idris
as-Syafii dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. (b). Di bidang aqidah
mengikuti madzhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan madzhab Imam Abu
Manshur al-Maturidi. (c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti madzhab
Imam al-Junaid al-Baghdadi dan madzhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.
3. Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna.
4. Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah
(realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang
sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus menerus
melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan
Yang Maha Esa.
5. Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat
Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak dengan keras segala
bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka
kafir.
6. Tidak menganggap siapapun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa).
7.
Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu
dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat
dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdhatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut.
8. Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlul qiblah.
9. Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU.
10. Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar