Contact Person

LTM-NU Kecamatan Sawahan Kota Surabaya - Hand Phone : 081 251 223 223 atau 087 85 85 45 888 atau 081 55 66 88 128

Selasa, 18 Agustus 2015

Karena Petunjuk-Nya, dia…

Oleh: Errita*)

Pagi itu ibu sendiri yang menyiapkan sarapan pagi, karena Bi Siti sedang pulang ke kampung halamannya. “Mmm…” aku dan adikku, Ima, manggut-manggut sambil melahap nasi goreng buatan ibu. “Masakan ibu enak ya!” puji kami.

Saat kami sedang asyik menikmati sarapan pagi di ruang tengah itu, tiba- tiba dari dalam muncul sesosok laki- laki dengan perawakan tinggi besar. Dia adaiah Shomad, kakakku.
“Sarapan dulu Mad!” seru ibu mengajak.
“Ah malas Bu! Lagi nggak selera…” ketusnya sambil ngeloyor pergi.
Yah, begitulah tingkah kakakku belakangan ini, acuh tak acuh dan sering keluar rumah tanpa tujuan yang jelas.
Malam harinya, saat jarum jam menunjukkan pukul 22.00 WIB, ibu terljhat termenung di ruang tamu. Beliau terlihat sangat letih menaggung beban keluarga yang harus dipikul seorang diri.
“Mas Shomad belum pulang ya, Bu?,” tanyaku dari belakang.
“Belum,” jawab ibu singkat.
“Mengapa ya Bu, Mas Shomad sekarang kok kayaknya berubah, sering marah, kalau pulang selalu larut malam, dan kalau ditanya, maka dampratanlah yang keluar dari mulutnya?,” tanyaku panjang lebar sambil duduk di sebelahnya.
“Entahlah Ir, ibu juga nggak tahu…” desah ibu dengan nada lirih.
Tak lama berselang, terdengar suara ketukan pintu depan. Sudah ku duga, itu pasti Mas Shomad. Ibu buru-buru membukakan pintu, dan ternyata benar, Mas Shomad yang datang.
“Dari mana saja Mad?” tanya ibu menyela.
“Ah, ibu mau tahu urusan orang saja…!” jawabnya kasar.
“Kamu sudah sholat?,” tanya ibu memburu.
Tanpa menjawab, Mas Shomad langsung masuk kamar dan menutup pintu keras keras. Ibu hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah anak tertuanya itu.
Begitulah kebiasaan kakakku, Shomad. Dia sering marah tanpa sebab yang jelas. Hal itu sudah berlangsung semenjak perceraian ibu dan ayah beberapa waktu yang lalu, ayah kami kepincut wanita tetangga desa, dan hal itu membuat ibu meminta cerai. Hati kami tentu saja terluka, terutama ibu yang merasa dikhianati hingga akhirnya ia memutuskan untuk minta cerai dan bekerja kembali untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga.

Sore itu, suasana rumahku sangat sepi. Ibu pergi arisan, adikku, Ima, bermain ke rumah temannya, sedang Mas Shomad memang jarang ada di rumah. Ketika aku sedang asyik membersihkan kamar, tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari depan. Akupun beranjak ke sana, dan setelah kubuka pintu, ternyata di depanku sudah berdiri seorang wanita cantik mengenakan pakaian seksi dan hot, dengan atasan singlet dan roksetengah paha.
“Silahkan masuk mbak,” pintaku mempersilahkan. Dengan sesungging senyum manis, ia masuk ke ruang tamu.
“Kenalkan dik, namaku Sari, temannya si Shomad,” ujamya seraya mengulurkan tangan.
“Kamu adiknya Shomad, ya?” tanyanya dengan senyum menggulum.
“lya mbak,” jawabku singkat.
“Eh, ngomomg-ngomong, Shomad ada nggak?” tanyanya lagi dengan mata penuh selidik.
“Aduh, Mas Shomad sedang pergi mbak. Sampai sekarang belum pulang,” jawabku dengan nada menyesal.
“Oo.. Ya sudah. Kalau begitu, mbak pamit aja ya. Tolong kalau kakakmu sudah pulang, katakan padanya, besok pagi aku akan ke sini lagi,” timpalnya sambil mengulurkan tangan hendak bersalaman.
“Ya mbak, insya Allah akan saya sampaikan,” ujarku seraya mengantarkannya ke depan pintu.
Mataku terus mengawasi langkah wanita itu hingga bayangannyamenghilang tepat di tikungan pertigaan jalan. “Siapakah ia gerangan dan apa hubungannya dengan mas Shomad,” pikirku seraya menutup pintu.
Selepas mahgrib, Mas Shomad baru pulang. Seperti biasa, ia menutup pintu dengan keras.
“Mas, tadi ada yang cari kamu. Namanya Sari. Katanya dia besok pagi mau kesini lagi,” selaku menghampirinya.
“Eh, mbak Sari itu pacar Mas Shomad ya?” tambahku dengan nada menggoda.
“Huh…diam cerewet! Itu urusanku!” bentaknya tanpa menoleh ke arahku.
“Mas…dulu Mas Shomad melarangku dekat dengan cowok, apalagi sampai pacaran. Tapi sekarang mas Shomad sendiri yang melakukannya. Sadar mas… sadar!” seruku mengejar.
“Sudah kubilang… diaml! Punya kuping nggak sih?” ujarnya dengan muka merah padam.
“Kamu tak perlu mengotbahiku. Aku dulu memang muluk-muluk karena dulu aku masih goblok,” terdengar suaranya yang makin meninggi.
“Heh…dengar Ir!” lanjutnya.
“Agama dan Tuhan menurutku hanya rekayasa manusia saja. Kita sebenarnya berasal dari siklus alam, bukan dari Tuhan. Agama dan Tuhan bagiku adalah belenggu. Nah, sekarang aku sadar bahwa hidup hanya sekali. Untuk apa dibuat susah dengan ibadah dan segala tetek-bengek lainnya. Sekarang aku ingin bebas!” serunya dengan lantang.
Mendengar kata-kata itu, dadaku tetasa sesak.
“Mas! Bicara apa kau ini? Kau…kau… kau kafir…! Kau sudah murtad mas…!” pekikku tanpa kontrol. Kata kata itu begitu saja keluar dari mulutku.
Dan…. Plakk. Tamparan keras mendarat di pipiku. Dengan meringis menahan rasa sakit, aku berlari ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Tak kusangka, ia tega memukulku. Tak ku sangka pula, trauma dan depresi telah menyeret Mas Shomad pada kesesatan.

Hari Minggu, aku tak ada acara. Biasanya kalau hari Minggu aku menghabiskan waktu membaca buku di perpustakaan. Tapi, hari ini aku harus menjaga rumah dan adikku, Ima. Karena ibu sedang ada acara di luar. Daripada bengong sendiri, ku putuskan untuk bersih-bersih rumah. Kamar demi kamar ku bersihkan, terutama kamar mas Shomad yang acak-acakan tak terurus dan berbau tidaak enak. Karena keadaan kamar kakakku itu agak pengap, ku buka jendela dan segera ku ambil pengharum ruangan yang biasa ditaruhnya di laci meja. Ketika ujung laci itu kutarik, astaga! Ternyata isinya bukan pengharum ruangan, tapi Morfin, extasy dan shabu-shabu! Masya Allah.
Kontan saja aku terperanjat dan mundur ke belakang. Tapi tiba-tiba, brekk, kakiku tersandung kotak sampah kamar yang berada dibelakangku. Tentu saja ia terguling. Dan… “Haaah…!” pekikku tertahan tidak kalah kagetnya, demi melihat setumpuk karet tipis berwama putih berhamburan keluar dari kotak sampah itu.
“Oh….ternyata Mas Shomad telah…” seruku dalam hati. “Ini pasti sudah dilakukannya berkali-kali dengan wanita itu. Terbukti kondom di tempat sampah itu begitu banyak” tebakku mengira-ngira.
Karena tak tahan melihat tumpukan kondom itu, segera ku tinggalkan kamar Mas Shomad. Ku urungkan niatku untuk membersihkan kamar laknat itu.
Sejak kejadian itu, hatiku selalu dirundung cemas dan takut. Tak bisa kubayangkan bagaimana marahnya Mas Shomad seandainya dia tahu bahwa segala rahasianya sudah kuketahui.
Namun ternyata dugaanku meleset. Bukan amarah yang ku dapati, tapi wajah murung dan sikap pendiam dari Mas somad yang terlihat beberapa hari belakangan ini. Dalam hati, aku bertanya, “Ada apa dengan Mas Somad?”

Pulang sekolah, aku berbaring di kamar, menghilangkan rasa penat. Tak lama berselang, hasrat untuk ke kamar mandi tak bisa ku tahan lagi. Sialnya, pintu kamar mandi terkunci dari dalam. Aku berusaha mengetuk pintu keras keras.
“Hei…hei…siapa di dalam, gantian dong!” pekikku tak sabar.
Namun tak kunjung ada respon dari dalam. Aku jadi penasaran, tak mungkin pintu terkunci dari dalam kalau tidak ada orangnya. Akhirnya kuseret sebuah kursi plastik kearah pintu kamar mandi dan aku berusaha mengintip ke dalam melalui ventilasi. Dan…ya Allah, ternyata Mas Shomad berada di dalam dengan seutas tali yang melingkar di lehemya.
Spontan aku beriari keluar rumah dan berusaha meminta tolong. “Mas Shomad mau bunuh diri, tolong…tolong!” pekikku.
Mendengar teriakanku, orang-orang berbondong-bondong ke rumah dan berusaha mendobrak pintu kamar mandi. Setelah pintu berhasil dibuka, terlihat tubuh mas Shomad sudah kejang dan pucat. Segera saja ia dilarikan kerumah sakit. Aku, pak De Saiful dan bu De Ina yang menyertainya.
Sesampai dirumah sakit, Mas Shomad langsung dimasukkan ke Ruang Gawat Darurat.
“Bagaimana keadaan kakak saya, Dok?” tanyaku cemas tatkala melihat dokter keluar dari ruangan tempat Mas Shomad dirawat.
“Rupanya pasien mengalami over dosis. Dia pecandu berat narkoba. Jadi perlu proses rehabilitasi. Disamping itu darahnya hampir habis karena dia berusaha gantung diri,” jawab dokter panjang lebar.
“Ya Allah, selamatkan kakakku!” batinku berguman.
Beberapa jam kemudian, dokter menemui kami kembali “Alhamdulillah, pasien sudah sadar. Sekarang anda boleh menemuinya,” kata dokter menjelaskan.
Mendengar kabar itu, kami segera masuk ke tempat dimana Mas Shomad dirawat, “Mas, mengapa sampai bisa begini…?” tanyaku terisak.
“Sari menghianatiku,” jawabnya sambil meringis menahan sakit. “Dia mengancam akan memberitahukan hubungan kami berdua, jika aku tidak mau membayar hutang-hutangnya. Tentu saja aku bingung. Aku merasa tertekan dan sebagai pelampiasannya, aku mengkonsumsi narkoba di luar batas. Dalam keadaan mabuk, tanpa sadar aku berusaha bunuh diri,” cerita Mas Shomad dengan suara lirih.
“Sudahlah mas, yang lalu biariah berlalu. Kembalilah ke jalan Allah. Sebab pintu taubat masih terbuka lebar bagi kita selama hayat masih dikandung badan,” hiburku seraya memperbaiki letak bantal yang dipakainya.
“Aku menyesal, seandaianya dulu aku mau mendengarkan nasehat ibu, mungkin ini semua tidak akan trerjadi,” keluh mas Shomad dengan kelopak mata yang mulai berlinang air mata.
“Sudahiah, mas, penyesalan memang selalu berada di belakang. Tapi jangan biarkan itu berlarut-larut. Mungkin Allah sedang menguj, sejauh mana keimanan kita. Kita harus bersabar dan bertawakal kepada-Nya,” pintaku menasehati.
Tak lama kemudian, ibu datang bersama Bu Lek Rahmah. Melihat Mas Shomad yang terbaring lemas, ibu langsung menangis dan memeluknya. Ibu menangis sejadi jadinya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.
“Bu, Shomad berdosa, Shomad kafir, Shomad durhaka kepada ibu,” kata Mas Shomad sambil terisak. Tangannya dijulurkan untuk meraih tubuh ibu. Dipeluknya wanita setengah baya itu sambil terus menangis.
“Tidak nak…!” jawab ibu terbata.
“Shomad tidak tahu,” potong mas Shomad. “Shomad tidak tahu bu, bagaimana harus meminta maaf kepada ibu. Shomad bersalah besar pada ibu” lanjut Mas Shomad sambil mengeratkan dekapannya.
“Sudahlah, ibu sudah memaafkan semuanya. Dan sekarang kembalilah ke jalan-Nya. Itu yang ibu inginkan,” nasehat ibu sambil melepaskan dekapannya.
“lya bu, Shomad mau bertobat dan berjanji akan menjauhi barang terkutuk itu,” ujarnya dengan mata yang masih sembab.
Terima kasih, ya Allah. Akhirnya ujian ini selesai sudah. Hidayah-Mu membuat Mas Shomad yang keras hati menjadi luruh. Semoga setelah peristiwa ini, keluarga kami menjadi tenang dan damai kembali. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar