Contact Person

LTM-NU Kecamatan Sawahan Kota Surabaya - Hand Phone : 081 251 223 223 atau 087 85 85 45 888 atau 081 55 66 88 128

Selasa, 18 Agustus 2015

WAKTU, ALANGKAH BERHARGANYA

Di dalam maqalah Arab, ada sebuah ungkapan berbunyi ”al Waqtu atsmanu min al dzahab,” (waktu lebih berbarga dari pada permata). Di maqalah lain juga di temukan “al Waktu ka al saif (waktu ibarat pedang). Apa maksudnya?


Bumi tempat kita berpijak ini, dalam sehari berputar dari arah timur ke barat searah jarum jam sebanyak 365 hari, selama 24 jam. Sejak dulu sampai kapanpun, sebelum malaikat Israfil meniup sangkakala tanda berakhirnya aktifitas bumi, jumlah tersebut tidak permah mengalami pengurangan atau penambahan. (satu hari=24 jam dan bumi berputar 469 kali).

Seseorang yang menyadari hal ini akan menggunakan waktu sebaik-baiknya. Aktivitas kesehariannya akan di-planning agar waktu yang digunakan tidak sia-sia. Waktu begitu berharga baginya. Ketika suatu pekerjaan yang sebetulnya bisa dikerjakan hari itu, bila tertunda, maka waktu yang digunakan lebih banyak dan ia kehilangan waktu yang semestinya dapat ia alokasikan pada pekerjaan lain. Karena pada saat ia melakukan aktivitas hari ini dan sebelumnya, pada saat itu pula waktu dirasakan ibarat pedang yang memutus kesempatan melakukan pekerjaan.

Untuk mengetahui berharganya waktu dalam satu tahun, maka bertanyalah kepada siswa yang tidak lulus atau tidak naik kelas. Selain merasa malu, biaya hidup dan belajar terbuang sia-sia. Dia harus memulai adaptasi baru dengan teman-teman di kelas barunya. Rasa kejenuhan mendera karena mempelajari pelajaran yang sudah pernah ia pelajari. Kesedihan semakin terasa bila dalam kondisi itu (tidak naik kelas), guru yang sekarang menemani belajar tidak memberikan kelonggaran dan toleransi kepadanya.

Waktu untuk menempuh jenjang pendidikan menjdi bertambah akibat tidak lulus atua tidak naik kelas. Waktu sebulan memang lebih pendek dibanding setahun. Namun waktu sebulan itu cukup lama dan berat bagi seorang ibu yang sedang hamil. Lebih terasa berat dan melelahkan lagi bila usia kandungan sudah di atas tujuh bulan dan mencapai puncaknya pada saat menjelang kelahiran (sembilan bulan), tidur tidak nyenyak karena terganggu beban kandungan di rahimnya. Aktifitas dan makan dijaga demi kesehatan calon bayi. Begitu berat beban seorang ibu mengandung sehingga pantaslah ia diberi maziyah (keistimewaan) yang tidak diberikan kepada sang suami, “al Jannatu tahta aqdami al ummahat,” (surga berada di bawah telapak kaki ibu).

Selanjutnya waktu seminggu (7 hari), seorang editor majalah mingguan (Kang Bruddin dengan MISYKAT-nya seandainya terbit mingguan), waktu 7 hari menentukan terbit dan tidaknya majalah. Bila dalam rentang waktu seminggu tidak dapat memperoleh informal dan menyeleksi artikel-artikel yang masuk, maka majalah mingguannya akan ditinggalkan para pelanggan, sebab terlambat terbit. Akibatnya, perusahaan tidak memperoleh keuntungan penjualan majalah.

Setelah waktu satu minggu, kini waktu dalam satu hari. Bagi buruh harian (tani atau bangunan) dan tukang becak, waktu satu hari dirasakan oleh mereka begitu berharga. Sebab seandainya pada hari itu tidak melakukan aktifitas, maka pada hari itu keluarganya tidak bisa makan karena tidak ada penghasilan untuk membeli makanan. Demi kelangsungan mengepulnya asap dapur, aktifitas selalu dikerjakan meskipun tersengat panas matahari atau berselimut dingin angin malam.

Hal demikian juga berlaku pada seorang wartawan koran yang terbit harian, dimana dia dituntut mencari berita aktual yang marketable (layak jual) dan menyusunnya menjadi sebuah berita tertulis. Bila hari itu dia tidak dapat membuat berita yang akan dikirim ke redaksi, maka karir profesi wartawannya jelek dan bisa berakibat dikeluarkan dari tempat bekerja.

Seorang guru yang mengajar di lembaga pendidikan swasta, atau seorang dosen yang memberi kuliah di pelbagai perguruan tinggi, mengetahui betul betapa berharganya waktu satu jam. Karena bila ia tidak melakukan aktifitas profesinya pada waktu itu, maka honor mengajar tidak akan diberikan. Tidak hanya mereka berdua yang merasakan betapa berartinya waktu satu jam. Seorang ahli pidato (terlebih lagi yang masih amatiran), waktu satu jam dirasakan sangat lama sekali. Waktu yang digunakan baru 30 menit, tapi keringat mengalir menganak sungai ke seluruh tubuh

Waktu satu menit hanya 60 detik. Biarpun begitu, bila kita tidak datang tepat waktu sesuai dengan jadwal pemberangkatan kereta api misalnya, kita tidak akan dapat bepergian dengannya. Tidak mungkin kereta api yang sudah berjalan lalu berhenti dan langsir kembali ke stasiun untuk menjemput   penumpang yang terlambat satu menit. Keterlambatan satu menit baginya, membawa dampak suatu perjalanan memakan waktu lebih lama, karena ia harus menunggu jadwal keberangkatan kereta selanjutnya.

Kemudian, gara-gara lebih cepat satu detik, Michael Schumacher dengan mobil balap Ferrarinya meraih juara dunia Formula I Grand Prix. Juga seseorang terhindar (bi ‘aunillah) dari kecelakaan maut, karena sedetik lebih cepat memutuskan naik bis yang tidak mengalami musibah. Seandainya ia memutuskan naik kendaraan satunya (bukan bis itu) yang mengalami kecakaan hari itu, tentu dia menjadi salah satu korban kecelakaan. Waktu satu menit membawa berkah bagi keduanya, yang pertama memperoleh juara F-1, yang kedua terhindar dari kecelakaan maut.

Begitu besarnya arti waktu, sehingga janganlah digunakan sia-sia. Rakyat Jepang (negara yang sekarang dijuluki macan Asia) dalam keseharianya memiliki prinsip “Pagi berpikir, siang bekerja, malam istirahat.” Kalau budaya kita masih sebatas “Mohon hadir tepat waktu” yang tertulis di bagian bawah-kanan surat undangan rapat atau sidang, bagaimana kita bisa mengejar ketertinggalan dari Jepang? Bagi kita, telambat satu jam seakan sudah merupakan “al ‘Adah al Muhakamah,” atau kebiasaan yang. menjadi keharusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar