Contact Person

LTM-NU Kecamatan Sawahan Kota Surabaya - Hand Phone : 081 251 223 223 atau 087 85 85 45 888 atau 081 55 66 88 128

Selasa, 18 Agustus 2015

Membangun Generasi Bebas Korupsi

Memrihatinkan! Mungkin, itulah ungkapan yang tepat melihat budaya korupsi di tanah air yang kian mendarah daging. Bahkan, virus korupsi bukan hanya menjangkiti para pejabat di birokrasi, namun sudah merambah dan merasuki seluruh sistem sosial di masyarakat.


Banyaknya pejabat yang terbukti ’menikusi’ uang rakyat sebenarnya hanyalah sisi lain dari tindakan korupsi yang sedang dan terus berjalan sampai saat ini. Mendefinisikan korupsi, Azyumardi mengutip pendapat Husein Alatas: ”Corruption is abuse of trust in the interest of private gain,” (penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi).

Definisi ini memberi pengertian bahwa korupsi sebenarnya bukan hanya dilakukan para pejabat dan elit politik, seperti pemahaman kebanyakan orang. Lebih dari itu, korupsi merupakan perilaku jahat yang juga menjangkiti masyarakat kalangan bawah. Mengurangi berat timbangan beras, meteran kain, atau merahasiakan aib (cacat) benda dalam jual beli, terlambat datang kerja, atau pulang kerja lebih awal tanpa alasan, kiranya cukup menjadi contoh tindak korup yang memasyarakat. Masih banyak lagi tindak korupsi yang seringkali kita lihat –atau mungkin juga kita alami– dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kita menilik lebih dalam, memang munculnya tindakan korupsi terdiri dari banyak faktor. Namun, setidaknya ada dua faktor yang paling dominan sebagai penyebab perilaku korupsi.

Pertama, Faktor internal. Yakni, dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan tindak korupsi. Korupsi karena faktor internal ini secara umum berupa;
Korupsi sebab keserakahan terhadap harta benda atau kedudukan (Corruption by greed). Hal ini karena memang karakter umum manusia selalu ingin lebih dan tidak pernah merasa cukup. Rasulullah pernah bersabda; ”Jika seseorang memiliki dua lembah penuh emas, niscaya ia ingin memiliki lembah yang ke tiga.”

Korupsi sebab kebutuhan hidup yang mendesak (Corruption by need). Seorang manusia tidak mungkin terlepas dari jeratan kebutuhan untuk menjaga eksistensi hidupnya. Kebutuhan yang kian mendesak dan tak sebanding dengan pemasukan seringkali mendorong seseorang melakukan segala cara demi menyumbat celah-celah kebutuhan yang masih berlubang. Tak ayal, kondisi ini memaksanya ‘menghalalkan’ segala cara.
Kedua, Faktor eksternal. Yakni, kondisi lingkungan yang kurang seimbang dan cenderung memberi peluang kepada pelaku korupsi untuk melancarkan aksinya (Corruption by chance). Seperti, kurang transparansinya perputaran roda organisasi, lemahnya hukum, tidak adanya tanggung gugat (akuntabilitas), penegakan hukum yang kurang intensif, dan sanksi hukum yang ringan.

Bisa dipastikan, kedua faktor ini membara akibat konstruksi moral dan religiusitas seseorang tidak terbangun dengan kokoh. Pemahaman yang dangkal terhadap ajaran agama atau menilainya sekedar wacana (bersifat kognitif), adalah sebab utama membuncahnya dua faktor yang mendorong seseorang melakukan tindakan amoral seperti korupsi.
Selain itu, sistem pendidikan, formal maupun non formal juga memiliki pengaruh yang sangat besar pada fenomena ini. Sistem pendidikan negara kita selama ini (khususnya pendidikan formal) yang lebih berorientasi pada kesuksesan duniawi, disadari atau tidak, telah membentuk pola hidup yang materialistik (mengejar kebutuhan duniawi) dan menjurus pada kapitalisme. Sementara korupsi tak lain adalah anak kandung resmi dari kapitalisme tersebut. Sebab, sampai saat ini, orientasi sistem pendidikan kita cenderung lebih mengarah pada pencarian kerja dan materialistik.

Sistem pendidikan kita belum begitu memerhatikan pembentukan moral dan religiusitas kepribadian anak didiknya. Akibatnya, bukan hanya menumbuhkan kepribadian materialisme, lambat laun hal ini juga menyuburkan pola hidup yang konsumtif (boros), hedonis (mengejar kepuasan sesaat), bahkan permisif (sikap tak peduli aturan). Jika sudah demikian, berbagai kecurangan dan penipuan –dalam skala kecil maupun besar– akan dihadirkan sebagai solusi tercapainya kepuasan hidup yang sesaat. Menjadi ‘jalan pintas yang dianggap pantas’.

Namun demikian, bukan berarti sistem pendidikan non formal berbasis agama (baca; pesantren) juga menjanjikan out put yang tangguh dan bersih dari tindak korupsi. Meski sistem pendidikan pesantren bisa dibilang berorientasi penuh pada pembentukan moral yang berakhlak mulia dan patuh pada ajaran agama, namun pada kenyataannya tercatat beberapa nama pejabat yang notabene out put pesantren turut terjerat kasus-kasus korupsi. Bahkan, meski tak sepenuhnya benar, beberapa media memberitakan bahwa tingkat korupsi di tubuh Departemen Agama (depag) termasuk bagian dari kategori lembaga terkorup di Tanah Air. “Sangat disayangkan, Departemen Agama merupakan salah satu lembaga terkorup di Indonesia, lebih sial lagi dana yang dikorupsi adalah dana penyelenggaraan ibadah haji,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Amin Sunaryadi di Aula Sekretariat DPRD Kabupaten Aceh Selatan, Tapaktuan, Selasa 17 Oktober 2009, sebagaimana diberitakan GATRA.com.
Belum lagi fenomena korupsi yang terjadi di arus bawah, tindak-tindak korup tingkat ‘kroco’ dengan mengurangi berat timbangan beras, meteran kain, dan lain sebagainya. Tanpa pandang bulu, tindak korup bisa menjangkiti siapa saja. Tak peduli dari golongan apapun, dengan background pendidikan apapun, jika hati seseorang tak dipenuhi dengan ketakwaan yang tinggi, akhlak budi yang luhur, tindak korup dan curang sangat berpotensi menyerangnya. Apalagi, dengan kondisi zaman yang kian bobrok dan peluang yang semakin lebar, tentu semakin memberi peluang yang longgar untuk melakukan tindakan amoral.

Kenyataan tersebut semakin menyuguhkan bukti bahwa krisis moral di bumi pertiwi memang sangat memrihatinkan. Apakah selama ini tak pernah ada upaya penanggulangan? Ataukah kita telah putus asa, jenuh menghadapi kenyataan yang kian lama tambah parah?

Tentunya tidak. Berbagai upaya dan usaha sebenarnya telah dilakukan. Namun, kenyataannya tingkat korupsi di lembaga-lembaga pemerintah khususnya –negeri ataupun swasta– semakin tak terkendali. Lalu, harus bagaimanakah bangsa ini menyikapi? Bagaimanakah solusi yang tepat untuk memberantas korupsi di berbagai tingkat sosial?
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor penyebab terjadinya korupsi sebagaimana di atas, setidaknya terdapat beberapa alternatif solusi sebagai berikut:

Pembenahan Moral
Mengingat faktor utama penyebab terjadinya tindak korupsi adalah faktor internal (moral diri seseorang yang kurang berakhlak), maka penanggulangannya tentu juga harus dimulai dari sini. Yakni dengan pembenahan moral, pembersihan akhlak, mengubah pola hidup materialis, hedonis, dan permisif menuju yang lebih baik.

Pada tahap ini, tentunya lembaga pendidikan, baik formal ataupun non formal memiliki posisi terpenting dan paling berpengaruh. Sejak kecil, sejak masih dalam usia belajar, seseorang harus dididik menjadi manusia yang bermoral dan berakhlak mulia. Pengetahuan mengenai dampak negatif pola hidup materialis dan hedonis juga sangat perlu diwacanakan agar ia tidak tumbuh menjadi pribadi yang serakah dan hidup dengan orientasi duniawi saja. Sebaliknya, pola hidup demikian sedapat mungkin harus dikikis, di ubah menjadi pola hidup yang ’nerimo opo anane, ojo nerimo opo sing ono’ (terima apa adanya, jangan terima apa yang ada). ’Nerimo opo onone’ berarti qana’ah, sedangkan ’nerimo opo sing ono’ bisa berarti serakah, semua yang mungkin diraih selalu dikejar dengan segala cara, atau berarti menyerah pada keadaan, hanya berpangku tangan menunggu keajaiban dari langit.

Aspek keagamaan menjadi kuncinya, lembaga berbasis keagamaan dan tokoh-tokohnya memegang peran yang paling urgen. Dalam pengajian, majelis ta’lim, dan setiap kesempatan pertemuan, harus seringkali didengungkan ancaman dan efek negatif tindakan curang dan korup sekecil apapun, terhadap kehidupan dunia, lebih-lebih ancaman baginya kelak di akhirat.

Meskipun hati manusia telah mengeras membatu, meski kalbu telah membeku, namun dengan seringkali mendapat tetesan embun nasihat, ia pun akan kembali mencair. Meski pintu nurani seakan telah terkunci, pasti akan terbuka oleh ketukan yang tiada henti. Hati manusia dicipta dalam keadaan bersih nan suci, meski telah ternoda, pasti bisa dibersihkan kembali.

Menutup Peluang
Tak kalah penting dari pembenahan moral, menutup peluang tindak korup juga merupakan solusi efektif dalam pemberantasan korupsi yang mesti dijalankan. Sebab, meskipun moral telah terbangun, namun seringnya menjumpai peluang dapat menggelitik kembali nafsu berbuat korup.

Pada level kelembagaan, transparansi merupakan cara yang dinilai efektif untuk menutup peluang terjadinya tindakan korup. Dengan transparansi, kemungkinan terjadinya penyelewengan menjadi semakin sempit. Kalaupun ternyata masih terjadi, setidaknya dengan transparansi penyelewengan itu mudah teratasi. Karena, dengannya potensi saling mengingatkan dalam rangka amar ma`ruf nahi mungkar lebih mudah terlaksana.

Sedangkan pada level bawah, peluang terjadinya tindak korupsi seperti mengurangi berat timbangan dan menyembunyikan cacat barang juga bisa ditanggulangi dengan adanya transparansi. Dengan transparansi peluang penipuan akan semakin kecil.
Bagi masyarakat kita, budaya ‘sungkan’ seringkali menjadi penghambat proses transparansi ini. Dengan dalih sungkan, seringkali seseorang enggan memberi teguran saat melihat penipuan atau tindakan curang. Bahkan memilih ‘ngalah’ saat seseorang ditipu dan dicurangi. Ia beranggapan bahwa sikap ini merupakan sikap yang baik, menilai bahwa ngalah dan ‘nerimo’ merupakan akhlak yang mulia dan luhur.

Jika diteliti lebih dalam, sikap ngalah dalam fenomena demikian secara tidak langsung adalah tindakan memberi peluang kepada orang lain melakukan perbuatan dosa. Bukankah berarti ini mendukung perbuatan dosa? Alil-alih berbuat berbuat baik, jika tak disertai ilmu bisa jadi dosa.

Sanksi Yang Menjerakan
“Jika surga dan neraka tak pernah ada….
Masihkah kau….
Bersujud kepadanya….”

Barangkali, syair lagu yang dinyanyikan grup band ternama itu ada benarnya. Jika tak ada surga dan neraka, mungkin hanya segelintir orang yang tetap eksis bersujud kepada Sang Kuasa. Adanya surga dan neraka, pahala dan dosa, janji dan ancaman, sangat berpengaruh memotifasi seseorang melakukan atau meninggalkan sesuatu.
Tentunya, sanksi atas suatu tindakan bisa efektif jika sanksi tersebut mampu memberikan efek jera. Sanksi yang diberikan atas suatu pelanggaran tentunya harus sebanding dengan pelanggaran yang dilakukan. Banyak orang berani melakukan pelanggaran atas suatu peraturan disebabkan ancaman hukum yang tidak sebanding dengan keuntungan perbuatan yang dilakukan.

Sanksi dan hukuman atas pelanggaran hukum diterapkan tidak lain adalah sebagai penindakan (represif; ar-rof’u) juga sebagai strategi pencegahan (preventif; ad-daf’u). Dalam pemberantasan korupsi ditingkat negara, berbagai sanksi hukum telah ditetapkan dalam undang-undang demi menciptakan negara yang bersih dari korup. Sedangkan pada tingkat korupsi lapisan bawah, barangkali sanksi yang lebih tepat –jika tidak memungkinkan menerapkan sanksi hukum– adalah sanksi moral dengan cara yang memalukan, dengan maksud memberikan efek jera.

Sanksi yang menjerakan dan penutupan peluang, pada akhirnya akan kembali pada masalah moral. Bagaimana pembuat sanksi dan yang berwenang menutup peluang mampu mengcounter korupsi, jika moral merekapun sudah terjangkit. Dan jika melihat budaya generasi muda dewasa ini –mulai dari pemakaian narkoba sampai hubungan badan diluar nikah, sudah sepantasnya kita khawatirkan, siapakah yang akan mengcounter tindak korupsi dalam artian luas.

Maka, sudah menjadi keharusan kita tersadar bahwa lingkup keluarga adalah sebuah lembaga pendidikan penting bagi remaja. Sudah waktunya dalam keseharian setiap keluarga, diajarkan serta diamalkan sebuah etika. Dengan begitu, semoga sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun yang akan datang budaya korupsi lenyap di bumi nusantara, seiring dengan tiadanya mereka penikmat budaya korupsi dimakan usia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar