Contact Person

LTM-NU Kecamatan Sawahan Kota Surabaya - Hand Phone : 081 251 223 223 atau 087 85 85 45 888 atau 081 55 66 88 128

Selasa, 18 Agustus 2015

Bagaimana Jika Kiai Berbeda Partai?

Kita tidak harus terjun ke dunia politik, namun harus paham masalah politik. Sebab, jika tidak mengerti tentang politik, maka, Man lam ya’rif as siyasata, akalathu as siyasatu (barang siapa yang tidak mengetahui ilmu politik, maka ia
akan ‘dimakan’ politik).

Jauh-jauh hari sebelum Rasulullah SAW wafat, beliau sudah meramalkan bahwa sahabat Ammar RA.
akan meninggal karena dibunuh oleh suatu golongan yang sesat. Saat itu beliau bersabda:



Artinya: “Aduh ‘Ammar! dia akan dibunuh oleh satu golongan yang sesat, dia menyeru mereka ke surga, sementara mereka mengajaknya ke neraka.”

Saat terjadi perang Shiffin antara kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kubu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ramalan Rasulullah Saw menjadi kenyataan. ‘Ammar yang saat itu berada di pihak Ali RA terbunuh oleh pasukan Mu’awiyah. Peristiwa terbunuhnya ‘Ammar itu memberi kesimpulan kepada kubu Ali RA bahwa, mereka adalah pihak yang benar dalam perselisihan itu. Sebab, ‘Ammar ternyata dibunuh oleh pihak Mu’awiyah RA.

Menanggapi tuduhan itu, kubu Mu’awiyyah justru menuduh balik kubu Khalifah Ali sebagai pihak yang paling bersalah. Mengapa demikian? Menurut kubu Mu’awiyah, Ali dan para pengikutnya sebelum terjadi perang Shiffin pasti sudah tahu tentang Hadis Nabi Saw, yang meramalkan kematian ‘Ammar di tangan suatu  golongan yang sesat. Sehingga mereka (kubu Ali) memanfaatkan momen perang Shiffin untuk menyuruh Ammar ikut berperang, dan terbunuh dalam perang itu. Kalau sudah tahu bahwa ‘Ammar akan terbunuh, mengapa Ali RA masih menyuruhnya maju ke medan perang? Kenapa tidak disuruh istirahat saja?  Dengan demikian, berarti Sayidina Ali-lah yang membunuh Ammar, bukan Mu’awiyah.

Sekilas bantahan pihak Mu’awiyah itu rasional juga. Tapi dengan tegas, Sayidina Ali mengatakan:



Artinya: “Jika demikian, berarti Rasulullah Saw adalah pembunuh (sayidina) Hamzah?”

Dengan kata lain, Ali ingin mengatakan bahwa, jika Anda menuduh saya sebagai pembunuh ‘Ammar hanya karena saya menyuruhnya ikut berperang, sama halnya Anda mengatakan bahwa yang membunuh Hamzah RA (paman Nabi) dalam perang Uhud adalah Nabi SAW sendiri. Sebab yang menyuruh Hamzah untuk berperang tidak lain adalah Nabi.

Menanggapi pernyataan ini, terang saja pihak Mu’awiyah tidak mampu menjawab.

Dari sekelumit kisah diatas, bisa dibayangkan, andai kata Sayidina Ali RA tidak memiliki kemampuan retorika yang tinggi dan ilmu olah kata yang baik, niscaya dialah yang akan dicap sebagai pembunuh ‘Ammar, sekaligus pemimpin kelompok yang sesat.

Menyingkapi posisi kubu Muawiyah, ulama Ahlussunnah Wal Jamaah memiliki sikap yang sangat bijaksana. Dalam pandangan mereka, sekalipun secara tersirat kubu Mu’awiyah berada di pihak yang salah, namun kita tidak boleh mengecam, membenci, apalagi memusuhinya. Karena apapun yang dilakukan para sahabat Rasulullah Saw (termasuk Mu’awiyah), bukan didasarkan atas hawa nafsu belaka, melainkan melalui landasan ijtihad. Dan para shahabat Nabi Saw jelas sudah memenuhi kapasitas sebagai seorang Mujtahid. Sehingga ijtihad yang mereka lakukan akan mendapat satu pahala (ijtihad saja) jika salah, dan akan mendapat dua pahala (ijtihad dan kebenaran) jika benar.

Nabi SAW bahkan memuji para sahabatnya tanpa terkecuali dengan sabdanya:



Artinya: “Sahabat-sahabatku laksana bintang-gemintang. Siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti, pasti kamu mendapat petunjuk.”

Kitab Tanwirul Hija juga menandaskan:



Artinya: “Jangan mempergunjingkan perselisihan yang terjadi di antara sahabat, sebab apa yang mereka lakukan selalu berlandaskan ijtihad, yang akan mendapat pahala.”



Perbedaan Di antara Kiai

Menyingkapi perbedaan yang terjadi di antara para guru atau kiai, seharusnya pandangan para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah itulah yang kita jadikan pedoman. Perbedaan adalah suatu hal yang wajar, karena setiap orang tidak selamanya harus sama. Justru kalau semuanya sama, tidak akan ada dialektika dalam kehidupan ini. Bayangkan, seandainya semua orang itu kaya, siapa yang akan menjadi pegawai, kuli, tukang becak, petani dan lain sebagainya?

Artinya, berbeda tidak harus selalu bermusuhan, sama dengan bukan berarti harus selalu bersatu.

Oleh karena itu, kita harus sigap menanggapi perbedaan di antara kiai, khususnya perbedaan dalam berpartai. Sekalipun mengikuti salah satunya, kita tidak boleh ikut-ikutan menyalahkan, apalagi mencela yang lain. Bukan maqam (posisi) kita untuk melakukan hal itu. Kita harus bercermin, siapa diri kita?

Nabi Ya’qub AS ketika mengutus putra-putranya untuk menghadap sang raja berpesan, “Janganlah kalian semua masuk dari satu pintu. Masuklah dari pintu yang berbeda-beda.” Dengan ungkapan lain, berbeda-beda pintu masuk akan memudahkan kalian menghadap raja. Nabi Ya’qub sendiri ternyata tidak mempermasalahkan perbedaan ‘pintu masuk’ yang akan dilalui, asalkan tujuannya tetap satu.

Dikisahkan pula bahwa, pada saat Perang Yarmuk, kaum Muslimin mengusulkan agar Pasukan Perang disebar/berpencar, sehingga mereka dapat mengepung pasukan kafir. Namun, sahabat Khalid bin Walid menolak usulan itu, ia berkeyakinan bahwa



Artinya: “Pertolongan (dari Allah) bergantung atas kebersamaan.”

Ternyata, gagasan sahabat Khalid itu membuahkan hasil, yaitu kemenangan bagi umat Islam.

Dari kisah ini, dapat diambil suatu titik simpul bahwa, berkumpul dan selalu bersama belum tentu mengandung mashlahat (kebaikan), dan ketika berbeda atau berpencar belum tentu hancur. Kita harus bisa memilah, kapan kita harus berkumpul dan mendapat mashlahat, dan kapan kita harus berbeda ketika ada mashlahat yang lebih besar.

Namun, ketika kita masih ragu akan dua pilihan, manakah yang lebih mashlahah? tentunya kita harus kembali berpegang pada suatu semboyan “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.”

Oleh karena itu, ketika guru kita memegang prinsip dan pendapat yang berbeda dalam menyalurkan aspirasi politiknya, kita tidak pantas berprasangka buruk kepada mereka. Kita harus yakin, bahwa masing-masing perbedaan itu berlandaskan ijtihadnya, bukan nafsu.

Sebenarnya, kita tidak perlu fanatik terhadap satu partai politik dan anti terhadap partai lain. Dalam satu tubuh partai, belum tentu semuanya baik dan juga belum tentu semuanya jelek. Yang jelas, kita harus berijtihad dan berhati-hati dalam menentukan pilihan, dengan melihat situasi dan kondisi. Kita juga harus berpedoman pada sebuah kaidah,



Artinya: “Kebaikan yang sudah nyata, tak boleh ditinggalkan hanya karena khawatir akan kerusakan yang belum nyata.”

Ingat! Kebenaran tidak hanya terletak pada satu prinsip saja, terkadang dua prinsip yang berbeda juga bisa dibenarkan.

Syahdan, ketika Abu Darda’ berjamaah, ia justru mengambil sikap yang sangat berbeda dengan pendapat kebanyakan Ulama. Dia mengambil posisi di shaf (barisan) paling belakang, padahal kebanyakan ulama menganjurkan untuk menempati shaf yang terdepan, karena banyaknya fadhilah yang terletak di sana (shaf terdepan, red). Kenapa Abu Darda’ bersikap demikian?

Dia memberikan argumen bahwa, “Memang benar bahwa shaf awal yang lebih utama. Namun, umat Muhammad diberi keistimewaan. Ketika ada seorang hamba melakukan shalat, maka ia dan orang-orang yang ada di belakangnya akan diampuni (dosanya) oleh Allah. Dan aku memilih shaf yang belakang, karena aku ingin diampuni lantaran barakah orang-orang yang ada di depanku.”

Berbeda sikap, seperti yang dilakukan Abu Darda’ di atas lebih utama, berdasarkan sebuah hadis,



Dengan demikian, kebenaran tak hanya terdapat dalam satu pendapat saja, melainkan juga sangat mungkin terdapat kebenaran dalam pendapat lain yang berbeda.

Surga Allah pun tak hanya memiliki satu pintu, bahkan lebih. Siapapun bisa masuk surga-Nya, dengan catatan memperoleh tiket masuk ke surga itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar