Contact Person

LTM-NU Kecamatan Sawahan Kota Surabaya - Hand Phone : 081 251 223 223 atau 087 85 85 45 888 atau 081 55 66 88 128

Selasa, 18 Agustus 2015

Mengenali Wajah Ahl As-Sunnah Wa Al-Jama’ah

Oleh: Ustadz Darul Azka

Beragamnya umat manusia dalam berbagai pola pikir dan pandangan hidup merupakan sunatullah yang tidak bisa dihindari. Meskipun demikian, ketika pandangan hidup atau bahkan ideologi sudah terkait dengan prinsip “Ketuhanan” dan “Kebertuhanan”, berbagai perbedaan haluan tetap akan menemukan satu kata kebenaran. Firman Allah dalam QS. al-A’raaf: 181



وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ
Artinya : “Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.” (al-A’raaf: 181)

Hadis-hadis Nabi juga menyimpulkan demikian, di antaranya:

إن اليهود افترقت على إحدى وسبعين فرقة أو ثنتين وسبعين فرقة والنصارى على مثل ذلك وتتفرق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة
Artinya: “Sesungguhnya umat Yahudi terpecah dalam tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umat Nasrani pun demikian. Dan umat ini nantinya juga akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.”

تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكى قالوا ومن الناجية ؟
قال أهل السنة والجماعة قيل وما السنة والجماعة ؟ قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي
Artinya: “Umat ini nantinya juga akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Satu yang selamat, yang lainnya dalam kerusakan. Sahabat bertanya; ‘Siapa yang selamat?’ Nabi menjawab: ‘Ahlussunah wal jamaah’. Mereka bertanya kembali; ‘Siapa Ahlussunah wal Jamaah?’ Jawab Nabi: ‘Adalah golongan yang sesuai dengan yang aku dan sahabatku saat ini’.”

Definisi Dan Konstruksi Ahlussunah Wal Jamaah

Ahl as-Sunnah Wa al-Jamaah terangkai dari tiga kalimat; al-ahl, as-sunnah, dan al-jamaah. Pertama, al-ahl, secara bahasa memiliki arti penduduk, kelompok atau golongan. Kedua, as-sunnah, memiliki beberapa pemaknaan; di antaranya, wajah, perjalanan, karakter, hukum, perintah dan larangan Allah Swt. Dan menurut Az-Zabidi, dapat juga diartikan jalan yang ditempuh. Dalam konteks syariah, as-sunnah memiliki arti suri tauladan Nabi atau perbuatan yang dijanjikan pahala manakala dilaksanakan. Ketiga, al-jamaah, secara bahasa memiliki arti kumpulan sesuatu berjumlah lebih dari tiga. Dari tinjauan syar’i, al-jamaah dapat diartikan hubungan dalam shalat antara imam dan makmum, dan mungkin juga diartikan persatuan umat dibawah satu kepemimpinan.

Istilah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamaah muncul sekitar abad ke III Hijriyah, yang dipelopori oleh Abi Hasan al-Asy’ari, murid dari salah seorang tokoh Mu’tazilah, Syaikh Ali al-Juba’i. Menurut as-Subuki, selama 40 tahun al-Asy’ari berada di belakang kelompok ini. Namun, setelah melalui perenungan panjang, al-Asy’ari sampai pada kesimpulan adanya kesalahan dari ajaran yang telah lama digelutinya. Utamanya mengenai posisi akal di hadapan nash, serta kewajiban Allah membalas kebajikan hambanya.

Makna dalam istilah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamaah bukan didapatkan dari lughat (bahasa) maupun dari syara’ (syariat), namun makna yang terkandung merupakan hasil dari pemaknaan urfi. Untuk lebih mudahnya, perlu difahami terlebih dahulu beragam pernyataan mengenai “Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah”.

a. Ummah Al-Islam Menurut Al-Isfirayni
Berawal dari pemahaman hadis Nabi Saw yang memotret perjalanan dan perpecahan yang akan dialami umat Islam, muncullah beragam interpretasi (tafsiran-red) tentang istilah “Ahlussunah Wal Jamaah” ,sebagai implementasi dari makna “Ummah Al-Islam”.
Dalam memahami “Ummah Al-Islam” , sebagian kalangan dari berbagai aliran mencoba menafsirkannya melalui barometer yang beragam. Namun, mayoritas dari mereka terjerumus dalam “ideologisasi makna” karena kuatnya keberpihakan. Abu Qasim Al-Ka’bi [1], guru besar Mu’tazilah menafsirkan “Ummah Al-Islam” adalah setiap umat yang mengakui kenabian dari Nabi Muhammad Saw dan meyakini bahwa ajaran yang dibawanya adalah benar dengan secara konsisten. Sedangkan menurut aliran Karamiyah Mujassimah di Khurasan, maksud “Ummah Al-Islam” adalah semua umat yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, baik secara ikhlas ataupun dengan disertai kemunafikan. Dari sini, mereka terang-terangan menyatakan bahwa kaum munafik yang jelas menyembunyikan kekufuran di masa rasul adalah tergolong kaum beriman sebagaimana keimanan malaikat dan para nabi.

Analisa Kritis
Dengan mengambil sample kelompok Isawiyah, salah satu firqah (pecahan-red) Yahudi, dengan mudah kita dapat mencerna kesalahan pernyataan dari Al-Ka’bi. Karena Isawiyah adalah salah satu kelompok Yahudi yang jelas mengakui kenabian Nabi Muhammad Saw sekaligus meyakini kebenaran dari ajaran yang dibawa beliau. Hanya saja, mereka berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad hanya diutus untuk bangsa Arab tidak untuk Bani Israil. Dari keyakinan ini, Isawiyah tidak memiliki identitas sebagai firqah dalam Islam. Dengan demikian, parameter yang disampaikan Al-Ka’bi tidak menggambarkan “Ummah Al-Islam” secara konkrit.

Sebagaimana Al-Ka’bi, pemetaan yang disampaikan aliran Karamiyah juga tidak memenuhi kualifikasi secara definitif. Kita jumpai kelompok Musyikaniah yang juga termasuk ‘sempalan’ Yahudi telah mengikrarkan dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Bahkan, mereka juga mengakui eksistensi Al-Qur’an, shalat, puasa dan haji di Baitullah sebagai ajaran yang benar. Meski demikian, dalam keyakinan mereka, Nabi Muhammad Saw diutus untuk semua umat selain kaum Yahudi, sebagaimana ajaran beliau hanya berlaku untuk kaum muslimin dan bukan untuk Yahudi. Dengan alasan in,i mereka tidak layak digolongkan dalam firqah Islam.
Dalam memahami “Ummah Al-Islam” , kita tidak boleh terjebak dalam ideologi maupun horizon-horison tertentu. Ibarat ‘nilai kaffah’ dalam menganut Islam, semua aspek dan tinjauan tidak boleh dilupakan ketika hendak menafsirkan kata “Ummah Al-Islam” secara lebih obyektif.
Singkatnya, istilah “Ummah Al-Islam” lebih tepat diperuntukkan bagi mereka yang telah mengakui dan meyakini beberapa aspek dari prinsip dasar keimanan, yang meliputi:

1.Keyakinan tentang ke-huduts-an alam;
2.Tentang ke-esa-an dan sifat qidam dari pencipta alam;
3.Keberadaan sifat-sifat pencipta alam;
4.Keadilan dan hikmah dari Allah Swt;
5.Tidak adanya kemiripan dan keserupaan bagi Allah swt. atas apapun;
6.Tentang kenabian dan kerasulan Muhammad Saw;
7.Diutusnya Muhammad saw. kepada kaffah (semua umat) serta telah ditetapkannya syariat beliau;
8.Keyakinan bahwa segala yang dibawa oleh Nabi adalah benar;
9.Pengakuan bahwa Al-Qur’an adalah sumber syariat;
10.Ketetapan bahwa Ka’bah adalah kiblat wajib ketika shalat.

Demikian Abd Al-Qahir Al-Isfirayni menyampaikan ulasannya mengenai “Ummah Al-Islam”. Beliau menandaskan, semua umat yang telah menjalankan keyakinan dalam semua aspek di atas secara utuh, dapat dicirikan sebagai as-Sunni al-Muwahhid (Ahlussunah Yang Meng-esa-kan Allah Swt) selama mereka tidak tercemari oleh bid’ah yang mengakibatkan kufur (kekafiran). Dalam hal ini, Al-Isfirayni secara implisit telah meletakkan dasar-dasar identifikasi golongan Ahlussunah Wal Jamaah [2]. Lebih tegas beliau mengatakan dalam bagian lain dari kitabnya, Al-Farqu Bain Al-Firaq, bahwa Ahlussunah Wal Jamaah merupakan sekelompok manusia yang berkeyakinan selayaknya as-Sunni al-Muwahhid serta menyepakati tentang konsep kenabian dan kepemimpinan, persoalan akhirat, ushul ad-dien disertai keyakinan adanya al-hasyr (dikumpulkannya manusia di satu tempat), an-nasyr (kehidupan setelah kematian), pertanyaan dua malaikat di alam kubur sekaligus mengikrarkan adanya al-haudh (telaga di akhirat) dan al-Mizan (timbangan amal) [3].

Selanjutnya, Al-Isfirayni mengklasifikasikan Ahlussunah Wal Jamaah dalam delapan bagian, yakni:
Pertama, mereka yang menguasai ilmu tauhid, kenabian, hukum al-wa’du (janji), al-wa’id (ancaman), tsawab (pahala), ‘iqab siksa), syarat-syarat ijtihad, serta al-Imamah dan az-Za’amah (kekuasaan dan kepemimpian). Dan dalam pemahamannya, mereka mengikuti jalur shifatiyah [4] dari ulama mutakallimin, yakni mereka yang meniadakan at-Tasybih (penyerupaan dzat maupun sifat Allah ) dan at-ta’thîl (menafikan kesejatian nama dan sifat-sifat Allah ) serta tidak tercemari oleh bid’ah dari kaum Rafidhah, Khawarij, Jahmiyah, Najariyah dan kelompok sesat lainnya.
Kedua, para imam fiqh baik ahl ar-ra’yi maupun ahl al-hadits [5], yakni mereka yang juga sepaham dengan madzhab Shifatiyah dalam permasalahan ushul ad-dien. Termasuk dalam bagian ini adalah pengikut Imam Malik, As-Syafi’i, Al-Awza’i, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Ibn Abi Ya’la, Abi Tsaur, Ahmad bin Hambal, Ahl Adh-Dhahir dan fuqaha lainnya.

Ketiga, mereka yang menguasai ilmu tentang ilmu hadis dan sunnah dengan berusaha memilah antara yang shahih dan yang saqîm (cacat) serta memahami faktor-faktor cacat dan adilnya seorang perawi.

Keempat, mereka yang membidangi ilmu tentang adab, nahwu, dan tashrif dengan tetap konsisten di jalur ulama lughat. Sebagaimana Imam Khalil, Abi Amr bin ‘Ala’, Sibawaih, Al-Fara’, Al-Akhfasy, Al-Ashmu’iy, Abi Ubaid dan semua ulama nahwu dari kalangan Kuffah dan Bashrah.

Kelima, mereka yang tergolong ulama qiraah dan ahli tafsir maupun ta’wil menurut kaidah ahlussunah.

Keenam, mereka ahli zuhud dan tashawuf yang konsisten dengan akidah ahlussunah.
Ketujuh, mereka para penjaga keamanan di benteng-benteng kaum muslimin dari ancaman kaum kafir yang mampu memperlihatkan syiar ahlussunah wal jamaah di benteng-benteng mereka.

Kedelapan, kaum awam yang berdomisili di berbagai negara dimana syiar ahlussunah telah hidup dan mewarnai di sana. Bukan mereka yang berdomisili di negara yang penuh dengan syiar kaum sesat. Mereka inilah yang oleh kalangan Shufiah disebut dengan “Hasywu al-Jannah”[6].

b. Ahl As-Sunnah Wa Al-Jama’ah Menurut Syaikh Abi Al-Fadhol
Syaikh Abi Al-Fadhol dalam Syarh Al-Kawakib Al-Lama’ah menyampaikan, kalimat As-Sunnah dan al-Jamaah secara gramatika mempunyai beberapa pemaknaan. As-Sunnah dapat diartikan sebagai wajah, perjalanan, karakter, hukum, perintah dan larangan Allah swt. Menurut Az-Zabidi dalam kitab Ittihaf as-Sâdah, As-Sunnah adalah jalan yang ditempuh atau dilalui. Sedangkan kata Al-Jamaah dapat diartikan sebagai kumpulan sesuatu lebih dari tiga ke atas. Dalam terminologi syariat, jamaah dapat dipahami sebagai persambungan dalam shalat atau persatuan umat dalam satu kepemimpinan.

Dari makna ini, Syaikh Abi Al-Fadhal melalui beberapa premis menyampaikan sebuah definisi tentang Ahl as-Sunnah yang sampai saat ini banyak mendapatkan pengakuan beberapa kalangan sebagai definisi yang cukup representatif. Beliau mengatakan, “Dan disaat perpecahan telah banyak terjadi, terlahirlah nama Ahlussunah wal Jamaah untuk mereka yang konsisten menjalankan sunnah Nabi Saw dan mencontoh para shahabat dalam akidah agama, amal badaniyah dan akhlaq qalbiyah”. Beliau menambahkan, bahwa Ahlussunah wal jamaah secara riil di tengah-tengah umat terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, Ahl Al-Hadis dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni al Quran, as-Sunnah, dan al-Ijma. Kedua, para ahli nadlar (analisa) akal dan pemberdayaan intelegensi (as-Shana’ah al-Fikriyah). Mereka adalah Al-Asy’ariyah dengan pimpinan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Hanafiyah dipimpin oleh Abu Manshur Al-Maturidi. Sumber penalaran mereka adalah akal dengan tetap meletakkan dalil sam’iyyah dalam porsinya. Ketiga, Ahl Al-Wijdan wa Al-Kasyf, yakni mereka kaum Shufiyah. Sumber inspirasi mereka adalah penalaran Ahl Al-Hadis dan Ahli Nadlar sebagai media penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui pola kasyfi dan ilham [7]. Ketiga kelompok inilah yang layak disebut Ahlussunah Wal Jamaah secara hakiki.

c. Rumusan Nahdlatul Ulama Tentang Ahl As-Sunnah Wa Al-Jamaah
Secara umum, Nahdlatul Ulama mengartikan Ahl As-Sunnah Wa Al-Jamaah dengan dua pengertian, yaitu:

Pertama, Ahlussunah Wal Jamaah sudah ada sejak zaman Nabi, sahabat Nabi, dan tabi’in yang biasanya di sebut dengan ‘as-salafus sholeh. Pendapat ini didasarkan pada pengertian bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah berarti golongan yang setia pada As-Sunah dan Al-Jamaah, yaitu Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw bersama para sahabatnya pada zaman Nabi masih hidup. Dan apa yang dipraktekkan para sahabat sepeninggal beliau, terutama Khulafaur Rasyidin. Dari pengertian ini, Ahlussunnah Wal Jamaah dirumuskan sebagai, “Golongan yang senantiasa setia mengikuti sunah Nabi Saw dan thoriqoh atau petunjuk para sahabatnya dalam akidah, fiqih, dan tasawuf. Mereka terdiri dari ahli kalam (mutakalimin), ahli fiqh (fuqoha’), ahli hadits (muhaditsin), dan ulama tasawuf (shufiyah).”

Kedua, Ahlussunnah Wal Jamaah adalah paham keagamaan yang muncul (dimurnikan) setelah Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi merumuskan akidah Islam yang sesuai dengan al Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, kaum Ahlussunah Wal Jamaah disebut sebagai kaum ‘Asy’ariyah’ dan ‘Maturidiyah’. Maksudnya adalah pengikut Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi dalam bidang akidah. Imam Azza mengatakan:

اذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد به الأشاعرة والماتريدية
Artinya: “Apabila disebut Ahlus Sunah Wal Jamaah maka maksudnya adalah Al-Asya’irah (golongan yang mengikuti Imam Asy’ari) dan Al Maturidiyah (golongan yang mengikuti Imam Maturidi).”

Untuk mengenal lebih mudah golongan Ahlussunah Wal Jamaah dalam konteks terkini, KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama menandaskan: “Ciri Ahli Sunah Wal Jama’ah, adalah mereka yang di bidang fikih mengikuti madzhab 4 (empat), Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i bin Idris atau Ahmad bin Hambal. Di bidang Tasawwuf, mengikuti ajaran Syaikh Junaid al-Baghdady dan Imam Al-Ghozali. Dan bidang Tauhid mengikuti Imam Abu al-Asy’ari atau Abu Mansur al-Maturidi.”

Pada hakikatnya, tiga macam definisi di atas secara garis besar menyimpulkan bahwa Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah merupakan istilah yang terbangun melalui nalar ‘urfi. Di mana, kaum muslimin representasi dari ‘as-sawad al-a’dlam’ atau golongan mayoritas pada waktu kondisi perpecahan paham menggejala merasa perlu merapatkan barisan dan menyepakati sebuah identitas, sebagai upaya membedakan antara hak dan bathil, dan antara mereka yang teguh mengikuti sunah dan yang menyimpang dengan berbagai macam bid’ah-nya.

Footnote:
1]. Mempunyai nama lengkap Abu Qasim Abdulloh bin Ahmad bin Mahmud Al-Ka’bi, guru besar Mu’tazilah yang wafat pada tahun 319 Hijriyah.
2]. Syekh Abdul Qahir Al-Isfiraini “Al-Farqu Bain Al-Firaq” hlm. 11 Dar El Fikr
3]. Ibid hlm. 19
4]. Shifatiyah adalah penamaan bagi ulama salaf yang menetapkan Sifat Azaliah bagi Allah, berupa shifat al-Ilmu, al-Qudrah, al-Iradah dan lain sebagainya. Mereka berseberangan dengan kelompok Mu’tazilah yang menafikan semua sifat bagi Allah satu. Dan mereka disebut juga dengan kelompok Mu’atthilah. Golongan Shifatiyah ini terbagi menjadi tiga kelompok; Asy’ariyah, Musyabbihah, dan Karramiyah. Karramiyah dan sebagian Musyabbihah (dari Syi’ah dan Hasyawiyah) adalah kelompok non Ahlussunah.
5]. Maksud Ahl Al-Hadits adalah penduduk Hijaz dari pengikut Imam Malik bin Anas, Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad bin Hambal, Dawud bin Ali. Mereka dijuluki sebagai Ahl Al-Hadits karena perjuangan mereka dalam menelaah dan me-nuqil hadits-hadits dengan maksud untuk dikembangkan dalam hukum syariat. Selama masih ditemukan nash ataupun atsar, menurut mereka konsep qiyas (analogi) baik Jaly (terang) maupun Khafi (samar) harus ditangguhkan. Sedangkan Ahl ar-Ra’yi adalah pengikut Imam Abi Hanifah An-Nu’man bin Tsabit. Disebut dengan Ahl ar-Ra’yi karena mereka berusaha memaksimalkan penalaran qiyas (analogi) dan makna yang dikandung sebuah nash. Kemudian berusaha memecahkan persoalan baru dengan media-media tersebut. Bahkan, terkadang mereka mendahulukan Qiyas Jaly dari hadits-hadits Ahad.
6]. Syekh Abdul Qahir Al-Isfiraini “Al-Farqu Bain Al-Firaq” hlm. 240-243 Dar El Fikr
7]. Syeikh Abi Al-Fadhol “Syarh Al-Kawâkib al-Lamâ’ah” hlm. 24-25 Hidayah Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar