Agama menaruh kewajiban nafkah istri dan anak di bahu seorang suami
sebagai kepala keluarga. Meskipun pada praktiknya kadang yang menjadi
“kepala keluarga” lain orang dari mereka yang selama ini berkewajiban
memberi nafkah. Besaran nafkah itu sendiri berbeda-beda. Ada kelas
“eksekutif”, kelas “bisnis”, dan ada juga kelas “ekonomi”.
Setidaknya
begitu menurut pandangan Imam Syafi’i. berbeda lagi dengan pandangan
mujtahid lainnya. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyddalam Bidayatul Mujtahid menyebutkan sebagai berikut.
وأما
مقدار النفقة فذهب مالك إلى أنها غيرمقدرة بالشرع وأن ذلك راجع إلى ما
يقتضيه حال الزوج وحال الزوجة، وأن ذلك يختلف بحسب اختلاف الأمكنة والأزمنة
والأحوال، وبه قال أبو حنيفة. وذهب الشافعي إلى أنها مقدرة: فعلى الموسر
مدان، وعلى الأوسط مد ونصف، وعلى المعسر مد.
Adapun terkait
ukuran nafkah, Imam Malik berpendapat bahwa kadar nafkah tidak
ditentukan secara syar’i. Kadar nafkah harus merujuk pada keadaan suami
dan keadaan istri yang bersangkutan. Itu pun berbeda-beda sejalan dengan
perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Demikian pula pendapat Imam Abu
Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa kadar nafkah ditentukan
oleh syara’.
Untuk suami dengan penghasilan tinggi, wajib
menafkahi istrinya sebanyak dua mud. Untuk kelas menengah, satu setengah
mud. Sementara mereka yang berpenghasilan rendah, hanya satu mud setiap
harinya.
Satu mud seukuran 543 gram menurut Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sementara menurut Hanafiyah, satu mud
seukuran 815,39 gram.
Yang jelas dibutuhkan ialah kebijaksanaan
antara suami dan istri dalam menentukan besaran nafkah sesuai
kebutuhan-kebutuhan keluarganya. Begitu juga terkait kebutuhan harian
lainnya seperti ongkos pendidikan dan lain sebagainya. Untuk itu, upaya
mencari nafkah yang halal memiliki keutamaan yang tinggi.
Karena
pada prinsipnya kesepahaman antara pihak suami maupun pihak istri ini
yang perlu hadir. Terlebih dalam kondisi suami yang memiliki
keterbatasan fisik? Saling menerima dalam batas yang wajar menjadi
perhatian utama agar tidak ada yang dizalimi. Wallahu a‘lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar