Bangkalan 1820, serupa dengan kota-kota lain di Madura—seperti
Pamekasan, Sampang, dan Sumenep— kota Bangkalan berada di bawah kontrol
Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Van Der Capellen. Setiap
harinya, bala tentara Belanda hilir-mudik di jalan-jalan mengawasi
setiap aktivitas penduduk termasuk aktivitas
perdagangan antar pedagang
Madura dan Pasuruan yang datang melalui pelabuhan di Surabaya. Rakyat
tunduk di bawah kontrol penjajah dan tak bisa berbuat banyak, bahkan
Sultan Bangkalan II (1815–1847), penguasa lokal Bangkalan pada masa itu
tak lebih hanya sebagai ‘pegawai’ raja negeri Belanda. (LPM Universitas
Negeri Malang, 2007: 146).
Sampai tahun 1820-an, belum terdengar
nama ulama besar dari Madura yang mampu menerangi batin penduduk pulau
garam tersebut sehingga banyak masyarakat Madura yang mengirim anak-anak
mereka ke pondok pesantren di tanah Jawa dengan harapan sepulang nanti
dapat mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat Madura.
Di tengah
kegersangan hati para penduduk Bangkalan, pada hari Selasa, 14 Maret
1820 M / 11 Jumadil Akhir 1235 H, lahirlah seorang bayi mungil anak dari
KH Abdul Latief adalah seorang kiai di Kampung Senenan, Kemayoran,
Bangkalan, Madura. Sang ayah memiliki silsilah yang tersambung sampai
ke Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, salah
seorang dari sembilan wali yang menyebarkan Islam di wilayah Jawa Barat.
Kakek dari KH Abdul Latief yaitu Muharrir masih memiliki hubungan darah
dengan Sayyid Sulaiman yang merupakan cucu Sunan Gunung Jati Cirebon.
Sejak
kecil sang ayah juga memperkenalkan Cholil kecil dengan berbagai ritual
Islam. Meski putranya masih belum paham dengan artinya, namun sang ayah
kerap mengajak Cholil menghadiri acara seperti Diba’an yaitu
membaca sejarah ringkas keluhuran dan keagungan Nabi Muhammad SAW dan
keluarganya melalui gubahan puitis karya Syaikh Abdurrahman Ad-Diba’i. Diba’an merupakan kegiatan jamiyyah
(dilaksanakan secara berjamaah) yang lazim dilaksanakan di kalangan
pesantren maupun di kalangan masyarakat Jawa dan Madura. Kegiatan ini
biasanya dilaksanakan pada malam Jum’at, juga pada acara walimatul khitan (resepsi sunatan) dan walimatul urusy (resepsi pernikahan). Selain itu, sang ayah juga mengajarkan cara membaca Al-Qur’an.
KH
Abdul Latief lalu mengirim putranya ke pesantren Langitan di Tuban yang
termasyhur dengan ilmu tata bahasa Arabnya. Sang ayah lalu menitipkan
putranya kepada KH Muhammad Nur pengasuh pesantren Langitan pada saat
itu. Sang ayah memercayakan sang anak untuk nyantri kepada KH
Muhammad Nurbukannya karena selain bagus, di sana juga turut lahir
beberapa tokoh generasi pertama NU seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab
Chasbullah, KH Syamsul Arifin (ayahanda KH As’ad Syamsul Arifin), dan KH
Shiddiq (ayahanda KH Ahmad Shiddiq).
Ketika Syaichona Cholil
menjadi ulama besar, karisma dan namanya sangat dihormati di seluruh
kalangan masyarakat Islam, khususnya kaum pesantren. Saat organisasi
Nahdlatul Ulama (NU) akan didirikan, Hadratusyaikh KH Hasyim Asy’ari
dilanda kebimbangan yang luar biasa. Syaichona Cholil Bangkalan yang
mampu merasakan keresahan KH Hasyim Asy’ari lalu mengutus santrinya,
Kiai As’ad Syamsul Arifin kepada KH Hasyim Asy’ari. Kiai As’ad datang
dua kali, pertama ia mengantarkan sebuah tongkat dan pesan satu ayat
dari Al-Qur’an surah Thaha ayat 17-23, dan kedua ia mengantarkan sebuah
tasbih dan amalan Yâ Jabbâr Yâ Qahhâr. Keresahan KH Hasyim Asy’ari reda berubah menjadi keyakinan untuk mendirikan organisasi NU.
Itulah
sekelumit kisah yang terdapat di dalam buku ini, betapa sosok Syaichona
Cholil Bangkalan memiliki peran besar lahirnya NU, sebuah organisasi
Islam terbesar di dunia saat ini.
Cerita lahirnya NU yang berdiri
atas restu Syaichona Cholil Bangkalan juga pernah diceritakan oleh
Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan pada saat perayaan Harlah NU ke-87 di
Pekalongan. Dalam ceritanya ia mengatakan bahwa menjelang berdirinya NU
ulama-ulama Haromain mengutus KH Hasyim Asy’ari untuk pulang ke
Indonesia agar menemui dua ulama besar untuk dimintai restu, pertama
Habib Hasyim bin Umar bin Toha Bin Yahya Pekalongan, dan yang kedua
yaitu Kiai Cholil Bangkalan.
Buku mungil ini berisikan sekilas
catatan hidup sosok mahaguru, lebih dari itu, buku ini kami harapkan
bisa menumbuhkan semangat pendidikan di Indonesia. Biografi Mbah Cholil
yang ditulis oleh Mokh. Syaiful Bakhri ini mencoba mendedah kehidupan
sang tokoh; peristiwa per peristiwa dalam hidupnya, perasaannya,
pemikirannya, cita-citanya, dan impiannya, yang dapat menjadi informasi
penting bagi para pembaca. dengan data yang memang sangat terbatas,
penulis juga menguatkannnya dengan mewawancarai beberapa narasumber yang
memiliki cerita tentang Kiai Cholil.
Minimnya literatur yang
mengulas sosok Syaichona Cholil Bangkalan membuat buku ini sangat
penting karena menjadi sumber informasi yang sangat berharga menyusuri
model pemikiran mereka di saat menghadapi perkembangan situasi dan
tuntutan zamannya. buku ini memberikan secercah cahaya untuk menambah
informasi tentang sosok Mbah Cholil. Terlebih, di dalam buku ini
terdapat terjemahan lengkap kitab berbahasa Arab yang dikarang oleh
Syaichona Cholil Bangkalan. As-silâh fî Bayân an-Nikâh dan kitab Al-matnu Syârif.
Mbah
Cholil adalah kreator intelektual. Karakternya yang penuh kezuhudan
akan menjadi sosok model yang perlu digugu dan ditiru. Namun, cerita
sejarahnya jarang sekali orang tahu, Syaichona Cholil Bangkalan sendiri
adalah sosok yang penuh dengan ke-tawadu’-an. Saat KH Hasyim
Asy’ari meminta restu, kalimat yang disampaikan kepada Mbah Hasyim
As’ari oleh dua tokoh besar tersebut hampir sama: ”Laksanakan niatmu
kalau mau membentuk wadah Ahlussunnah wal Jama’ah. Saya rela tapi tolong
saya jangan ditulis“. Begitulah sosok Mbah Cholil, begitu rendah hati.
Buku
ini berjudul ”Mahaguru Pesantren: Syaichona Cholil Bangkalan”, sebuah
biografi yang ditulis oleh Mokh. Syaiful Bakhri tentang seorang mahaguru
yang sangat dihormati oleh masyarakat Muslim Indonesia khususnya di
kalangan pesantren. Sang tokoh adalah seorang pendidik andal yang oleh
penulis buku ini disebut telah mampu mengintegrasikan ilmu pengetahuan,
spiritual, sosial, dan keterampilan esoterik ke dalam pola asuh dan
pendidikan di pesantrennya.
Kisah-kisah di dalam buku ini kiranya
mampu menginspirasi pembaca khususnya para pendidik di negeri ini.
Pelajaran-pelajaran hidup yang terangkum di dalam buku ini kiranya akan
menambah wawasan dan kekuatan mental kita dalam membangun karakter
bangsa dan menciptakan pola pendidikan yang semakin baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar